D. Aliran Pemikiran Tasyri
1. Bahwa hukum Islam itu sudah given, sudah ada dan termaktub di lauh al-mahfudz sejak zaman azali. Dari sudut ini, hukum adalah kehendak Tuhan yang diwahyukan. Sebagai ketentuan Tuhan, ia mendahului bukan didahului, manusia yang harus menyesuaikan kepada hukum, bukan hukum menyesuaikan pada perubahan manusia. Artinya, disini tidak berlaku suatu konsep bahwa hukum berevolusi sebagai gejala sosial (sejarah) yang terkait erat dengan kemajuan masyarakat.
2. Bahwa hukum itu lahir dan berkembang bersama kehidupan masyarakat (the man made the law/natural law). Karena al-Qur'an diturunkan pada masyarakat Arab yang sudah mengenal budaya, bahasa, bahkan agama. Dilihat dari konteksnya, al-Qur'an mengalami dialektika dengan masyarakat Arab pada waktu itu. Adanya ayat-ayat yang responsif atas pertanyaan atau permasalahan yang timbul pada waktu itu adalah bukti dari adanya dialektika itu. Oleh karena itu, hukum yang terkandung dalam al-Qur'an selama bersangkutan dengan budaya pada masa itu boleh ditafsirkan surut sesuai dengan konteks budaya pada waktu itu. Yang dipegang adalah ajaran universal dari al-Qur'an itu sendiri seperti: keadilan, kedamaian, kemerdekaan dan persamaan.
E. Definisi Syariah, Fiqih dan Hukum Islam
1. Definisi Syariah
Secara etimologis, syariah berarti "jalan ke sumber air minum", namun bangsa Arab sering mengartikannya sebagai " jalan yang lurus", karena mata air adalah sumber kehidupan.
Syariat adalah: "segala perintah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia, karena objek kajiannya adalah tindak tanduk, prilaku, atau perbuatan manusia. Ada pula definisi yang berbunyi bahwa syariat adalah: "segala perintah Allah yang berhubungan dengan sikap dan tingkah laku manusia baik yang bersifat aqidah (disebut ushuli) maupun yang bersifat amaliyah (disebut furu'i)".
Manna' al-Qaththan, yaitu bahwa Syariat adalah apa yang ditegaskan oleh Allah untuk hamba-hambanya, baik dalam aqidah, ibadah, muamalah, akhlak dan aturan hidup, untuk menjaga hubungan antara manusia dan Tuhannya dan hubungan antara sesama mereka sendiri, serta untuk mencapai suatu kebahagiaan di dunia dan akhirat. Al-Qatthan menegaskan bahwa Syariat hanya dibuat oleh Allah semata (tasyri' ilahi), sehingga aturan apapun yang dibuat oleh manusia tidak dapat disebut syariah, tetapi tasyri' al-wadh'i.
2. Definisi Fiqih
Bila syariah sebagai sebuah konsep ideal yang dikehendaki oleh Allah, maka fikih dipahami sebagai upaya manusia untuk memahami kehendak tersebut. Secara etimologis, fikih berarti "al-fahmu" atau "faham yang mendalam". Secara terminologis, fikih berarti: "ilmu tentang hukum-hukum syara (kumpulan hukum-hukum) yang bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang terperinci“.
Yang dimaksud dengan kalimat: "yang digali dan ditemukan" adalah sebuah proses berfikir tentang hukum dengan metode tertentu yang disebut dengan ijtihad. Sehingga Imam Al-Amidi mendefinisikan fikih sebagai "ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara yang bersifat furu'iyyah yang didapatkan dengan metode tertentu dan penalaran (istidlal)", sedangkan yang dimaksud dengan "dari dalil-dalil yang terperinci" adalah dalil-dalil hukum Islam yaitu al-Qur'an dan Sunnah yang sifat dari dalil itu terperinci (tafshili).
Ibnu Khaldun mendefinisikan fikih sebagai "pengetahuan tentang hukum-hukum Allah yang berkenaan dengan tingkah laku mukallaf baik itu wajib, haram, sunnah, makruh, atau mubah, yang diambil dari al-Qur'an, Sunnah dan dalil-dalil yang ditetapkan oleh pembuat hukum (al-syari') untuk mengetahuinya". Hukum atau produk yang berhasil ditemukan oleh para mujtahid inilah yang disebut fikih.
3. Definisi Hukum Islam
Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata "hukum" dan 'Islam". Kedua kata ini berasal dari bahasa Arab, namun apabila dirangkai menjadi "hukum Islam", kata tersebut tidak dikenal dalam terminologi Arab. Kita tidak dapat menemukan kata itu dalam al-Qur'an, hadis atau literatur Arab lainnya.
Kata Hukum Islam merupakan kata yang sudah melembaga, dipakai secara lumrah di Indonesia. Kata ini mulai muncul ketika di Indonesia muncul tiga hukum yang saling bersinggungan (trikotomi hukum), yaitu hukum Islam, hukum Adat dan hukum Barat. Penyebutan "hukum Islam" itu sendiri bertujuan untuk memisahkan antara hukum yang bersumber dari ajaran agama Islam, hukum yang berasal dari adat istiadat bangsa Indonesia dan hukum Barat yang dibawa oleh kolonial Belanda.
Apabila didefinisikan, hukum Islam adalah: "seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua orang yang beragama Islam". Dengan demikian bahwa hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari agama Islam.
Dalam khazanah pemikiran hukum Islam dikenal bahwa produk pemikiran hukum Islam memiliki empat kategori:
- Fiqih, yakni bangunan ilmu pengetahuan keislaman yang meliputi ibadah dan muamalah secara menyeluruh.
- Fatwa, yakni produk pemikiran hukum yang dikeluarkan oleh perorangan maupun secara kolektif atas pertanyaaan hukum dari anggota masyarakat terhadap persoalan-persoalan tertentu. Fatwa tidak memiliki daya ikat pada orang yang meminta fatwa. Fatwa perorangan di zaman modern khususnya di Indonesia merupakan barang langka, tetapi fatwa yang dilakukan oleh kelembagaan hingga kini masih dirasakan eksis, misalnya fatwa MUI yang hampir selalu mengikuti setiap persoalan kontemporer.
- Putusan Pengadilan (qadha), yakni produk pemikiran hukum yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan, yang keputusannya mengikat bagi pihak yang berperkara.
- Perundang-undangan (qanun), yaitu produk politik dalam menerapkan suatu hukum oleh dewan legislatif yang diusulkan oleh eksekutif. Biasanya, perundang-undangan ini mempunyai keterbatasan, diantaranya cakupan materi yang dimuat sangat spesifik, hanya mencakup bidang hukum tertentu saja.
F. Karakteristik Hukum Islam
Hukum Islam mempunyai watak tertentu dan beberapa karakteristik yang membedakannya dengan berbagai macam hukum yang lain. Karakteristik tersebut ada yang memang berasal dari watak hukum itu sendiri dan ada pula yang berasal dari proses penerapan dalam lintasan sejarah menuju ridha Allah. Dalam hal ini, beberapa karakteristik hukum Islam bersifat sempurna, universal, kemanusiaan, mengandung moral agama, dan dinamis, akan dijelaskan dalam bagian ini.
1. Sempurna, artinya syari'at itu akan selalu sesuai dengan segala situasi dan kondisi manusia, dimana pun dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok. Hal ini didasarkan bahwa syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan hanya garis besar permasalahannya saja, sehingga hukum-hukumnya bersifat tetap meskipun zaman dan tempat selalu berubah. Penetapan hukum yang bersifat global oleh al-Qur'an tersebut dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu.
2. Universal, syari'at Islam meliputi seluruh alam tanpa ada batas wilayah, suku, ras, bangsa, dan bahasa. Keuniversalan ini pula tergambar dari sifat hukum Islam yang tidak hanya terpaku pada satu masa saja (abad ke-VII saja, misalnya), tetapi untuk semua zaman. Hukum Islam menghimpun segala sudut dan segi yang berbeda-beda di dalam suatu kesatuan, dan ia akan senantiasa cocok dengan masyarakat yang menghendaki tradisi lama atau pun modern, seperti halnya ia dapat melayani para ahli aql dan ahl naql, ahl al-ra'y atau ahl al-hadis.
3. Elastis, dinamis, fleksibel, dan tidak kaku. Karena hukum Islam merupakan syariat yang universal dan sempurna, maka tak dapat dipungkiri pula kesempurnaannya ini membuatnya bersifat elastis, fleksibel dan dinamis dalam perkembangan zaman, karena jika hukum Islam menjadi sesuatu yang kaku justru akan menjadikannya tak relevan pada masa atau ruang tertentu. Bila syariat diyakini sebagai sesuatu yang baku dan tidak pernah berubah, maka fiqih menjembatani antara sesuatu yang baku (syariat) dan sesuatu yang relatif dan terus berubah tersebut (ruang dan waktu). Syari'at Islam hanya memberikan kaidah dan patokan dasar yang umum dan global. Perinciannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan manusia, dan dapat berlaku dan diterima oleh seluruh manusia. Dengan ini pula, dapat dilihat bahwa hukum Islam mempunyai daya gerak dan hidup yang dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan, melalui suatu proses yang disebut ijtihad.
4. Sistematis, artinya antara satu doktrin dengan doktrin yang lain bertautan, bertalian dan berhubungan satu sama lain secara logis.. Selain itu, syariat Islam yang mendorong umatnya untuk beribadah di satu sisi, tetapi juga tidak melarang umatnya untuk mengurusi kehidupan duniawi.
5. Bersifat Taabuddi dan taaqulli. Warna Syari'at Islam dapat dibedakan dengan dua warna: yaitu taabuddi bentuk ibadah yang fungsi utamanya untuk mendekatkan manusia kepada Allah. Bentuk ibadah seperti ini sudah given, taken from granted, makna yang terkandung didalamnya tidak dapat dinalar, irrasional, seperti jumlah rakaat shalat. Sedangkan yang taaqulli adalah bersifat duniawi yang maknanya dapat difahami oleh nalar manusia dan rasional.
6. Menegakkan Maslahat, karena seluruh hukum itu harus bertumpu pada maslahat dan dasar dari semua kaidah yang dikembangkan dari seluruh hukum Islam harus bersimpul pada maslahat. Syariat berurusan dengan perlindungan maslahat, entah dengan cara yang positifmisalnya dengan tindakan untuk menopang landasan-landasan mashalih, syariat mengambil tindakan-tindakan untuk menopang landasan-landasan mashalih tersebut. Atau dengan cara preventif, yaitu untuk mencegah hilangnya mashalih, ia mengambil tindakan-tindakan untuk melenyapkan unsur apa pun yang secara aktual atau potensial merusak mashalih.
7. Menegakkan Keadilan. Keadilan dalam arti perimbangan atau keadaan seimbang (mauzun) antonimnya ketidakadilan, kerancuan (at-tanasub), persamaan (musawah), tidak diskriminatif, egaliter, penunaian hak sesuai dengan kewajiban yang diemban (keadilan distributif), serta keadilan Allah yaitu kemurahan-Nya dalam melimpahkan rahmat-Nya kepada manusia sesuai dengan tingkat kesediaan yang dimilikinya.
8. Tidak Menyulitkan (adamul kharaj). Yang disebut dengan tidak menyulitkan adalah hukum Islam itu tidak sempit, sesak, tidak memaksa dan tidak memberatkan. Di antara cara meniadakan kesulitan itu, ada beberapa bentuk:
- Pengguguran kewajiban, yaitu dalam keadaan tertentu kewajiban ditiadakan seperti gugurnya kewajiban shalat jum'at dan gugurnya kewajiban puasa dibulan Ramadhan bagi orang yang sedang dalam perjalanan atau sakit.
- Pengurangan kadar yang telah ditentukan, seperti qashar shalat dari yang jumlahnya empat rakaat menjadi dua rakaat, yaitu shalat Dzuhur, Ashar dan Isya'.Penukaran, yaitu penukaran satu kewajiban dengan yang lain, seperti wudhu atau mandi besar ditukar dengan tayammum, atau menukar kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan dengan hari lain bagi orang yang mempunyai halangan puasa Ramadhan.
- Mendahulukan, yaitu mengerjakan suatu kewajiban sebelum waktunya hadir seperti shalat jama' takdim, shalat Ashar yang dilaksanakan pada waktu Dzuhur, melaksanakan shalat Isya pada waktu shalat Magrib.
- Menangguhkan atau mentakhirkan kewajiban yaitu mengerjakan suatu kewajiban setelah waktunya tidak ada seperti shalat jama' takhir. mengerjakan shalat Dzuhur diwaktu shalat Ashar atau mengerjakan shalat Magrib di waktu shalat Isya.
- Mengubah dengan bentuk lain, seperti merubah perbuatan shalat dengan shalat khauf karena alasan keamanan. atau mengganti kewajiban puasa bagi orang yang sudah tidak kuat lagi puasa dengan membayar fidyah.
- Menyedikitkan beban (taqlil at-takalif), yaitu dengan menyedikitkan tuntutan Allah untuk berbuat, mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
- Berangsur-angsur (tadrij). Hukum Islam dibentuk secara gradual, tidak sekaligus. Diantara hukum Islam yang diturunkan secara gradual adalah larangan riba, pertama hanya dikatakan sebagai perbuatan tercela (QS. al-Rum: 39), kemudian riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda (QS. Ali Imran: 130), terakhir dikatakan haram secara mutlak (QS. al-Baqarah: 275, 278) . Demikian juga dalam pelarangan minuman keras, awalnya hanya dikatakan bahwa madharatnya lebih besar dari manfaatnya (QS. al-Baqarah: 219), kemudian larangan untuk mendekati shalat dalam keadaan mabuk (QS. al-Nisa: 43), dan terakhir diharamkan secara mutlak bahkan dikatakan sebagai perbuatan syetan (al-Ma'idah : 90).
G. Sumber-Sumber Hukum Islam
Sumber-sumber hukum Islam yang disepakati (muttafaq) para ulama adalah:
- Al-Qur'an: Kalam Allah yang bersifat mukjizat, yang diturunkan kepada Muhammad SAW melalui perantara malaikat jibril, tertulis di mushaf, diriwayatkan secara mutawattir, dan membacanya adalah ibadah.
- Hadis: Segala Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (fi'liyah), ataupun persetujuan (taqririyah).
- Ijma: Kesepakatan seluruh mujtahid muslim tentang penetapan hukum syara' pada waktu tertentu setelah Rasulullah SAW wafat. Ijma merupakan sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Qur'an dan hadits. Metode untuk menetapkan hukum atas permasalahan yang tidak ada di Al-Qur'an dan Sunnah.
- Qiyas: metode penetapan hukum Islam yang dilakukan dengan cara menyamakan suatu peristiwa yang belum ada sumber hukumnya dengan peristiwa yang sudah ada sumber hukumnya. Qiyas merupakan penerapan hukum analogis yang didasarkan pada persamaan illat hukum.
Sumber-sumber hukum Islam yang tidak disepakati (mukhtalaf):
Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan hukum yang satu ke hukum yang lain karena ada dalil yang menuntut demikian. Contoh istihsan adalah wasiat. Walaupun secara qiyas tidak dibolehkan, namun karena adalanya dalil dari Al Qur’an maka wasiat itu dibolehkan.
Maslahah mursalah (istislah) adalah diberlakukannya suatu hukum atas dasar kemaslahatan yang lebih besar dengan mengesampingkan kemudaratan karena tidak adanya dalil yang menganjurkan atau melarangnya. Sisa minuman burung buas, seperti elang dan gagak, halal diminum. Hal ini ditetapkan berdasarkan istihsan karena burung buas memiliki paruh yang terdiri dari tulang atau zat tanduk, bukan najis.
Istishab adalah metode ijtihad yang dilakukan dengan cara menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya hingga ada dalil baru yang merubahnya. Contoh istishab adalah setiap makanan atau minuman boleh dikonsumsi hingga ada dalil yang mengharamkannya.
Urf adalah segala sesuatu berupa perkataan atau perbuatan yang sudah dikenal masyarakat dan telah dilakukan secara turun temurun. Contoh ‘urf adalah acara halal bi halal yang kerap dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri atau setelahnya.
Saddzu dzariah adalah sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh, namun dapat mengarah pada kemaksiatan. Contoh sadzzui dzariah adalah bermain kuis yang dapat mengarah pada perjudian.
Qaul al-Shahabi adalah pendapat para sahabat terkait hukum suatu perkara yang dirumuskan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Contoh qaul al-shahabi adalah pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa kesaksian dari seorang anak kecil tidak bisa diterima.
Syar’u man qablana adalah hukum Allah yang disyariatkan kepada umat terdahulu, yang diturunkan melalui nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Contoh syar’u man qablana adalah kewajiban berpuasa bagi orang-orang beriman (QS. Al Baqarah: 183).
H. Al-Qur'an Sebagai sumber Hukum Islam
Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Ayat pertama yang diturunkan adalah surat Al-Alaq ayat 1-5 di Gua Hira, Makkah, Arab Saudi, pada 17 Ramadhan 610 M. Peristiwa turunnya Al-Qur'an disebut Nuzulul Qur'an, yang biasanya diperingati umat Islam setiap 17 Ramadhan.
a. Pengertian Al-Qur'an Secara Bahasa
Lafadzh Qara'a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, dan qira'ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih. Qur'an pada mulanya seperti qira'ah, yaitu masdar (infinitif) dari kata qara'a qira'atan, qur'anan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT :
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآَنَهُ فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ (القيامة 17-18)
ِArtinya: “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu`. (Al;-Qiyamah :17-18)
Qur'anah berarti qiraatun (bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah masdar menurut wazan (tashrif, konjugasi) "fu'lan" dengan vokal "u" seperti "gufran" dan "syukran". Kita dapat mengatakan qara'tuhu, qur'an, qira'atan wa qur'anan, artinya sama saja. Di sini maqru' (apa yang dibaca) diberi nama Qur'an (bacaan); yakni penamaan maf`ul dengan masdar.
b. Pengertian Al-Quran secara Istilah
Para ulama menyebutkan definisi Quran yang mendekati makananya dan membedakannya dari yang lain dengan menyebutkan bahwa:
القرآن هو كلام الله المنزل على محمد عليه السلام المتعبد بتلاوته
Artinya: al-Qur'an adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Muhamad saw. Yang pembacanya merupakan suatu ibadah`.
Penjelasan Arti Quran secara istilah, adalah sebagai berikut :
Definisi kalam (ucapan) merupakan kelompok jenis yang meliputi segala kalam. Dan dengan menghubungkannya dengan Allah (kalamullah) berarti tidak semua masuk dalam kalam manusia, jin dan malaikat.
Batasan dengan kata-kata (almunazzal) / yang diturunkan maka tidak termasuk kalam Allah yang sudah khusus menjadi milik-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah: Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu. (al-Kahfi: 109).
Batasan dengan definisi hanya "kepada Muhammad saw" Tidak termasuk yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya seperti taurat, injil dan yang lain.
Sedangkan batasan (al-muta’abbad bi tilawatihi) "yang pembacanya merupakan suatu ibadah" mengecualikan hadis ahad dan hadis-hadis qudsi .
Definisi lain tentang Al-Quran yang lebih lengkap yaitu :
هو كلام الله المعجز المُنَزل على سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم، المكتوب بالمصاحف، المنقول بالتواتر، المُتعَّبد بتلاوته
Artinya : Kalam Allah yang bersifat mukjizat, yang diturunkan kepada Muhammad SAW, tertulis di mushaf , diriwayatkan secara mutawattir, dan membacanya adalah ibadah.
c. Periode turunnya Al-Qur'an
Periode turunnya Al-Qur'an dibagi menjadi dua, yaitu periode Makkah dan periode Madinah:
- Periode Makkah (Makkiyah): Terjadi sebelum Nabi Muhammad hijrah dan berlangsung selama 12 tahun 5 bulan. Pada periode ini, ayat-ayat yang diturunkan umumnya berisi tentang tauhid dan akidah.
- Periode Madinah (Madaniyyah): Terjadi setelah Nabi Muhammad hijrah dan berlangsung selama 9 tahun 9 bulan. Pada periode ini, ayat-ayat yang diturunkan umumnya berkaitan dengan hukum Islam, syariat, dan muamalat.
I. Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam
1. Pengertian Hadis Secara Bahasa
Secara Etimologi hadis diartikan dengan:
- Sesuatu yang baru (Jadid)
- Dekat (Qorib), sesuatu yang tidak lama lagi akan terjadi.
- Berita (Khabar), sesuatu yang dibicarakan dari seseorang kepada orang lainnya.
Hadits menurut istilah para ahli hadits adalah sinonim dari sunnah yaitu sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi SAW sebelum atau sesudah beliau diutus menjadi Nabi. Tetapi, sunnah lebih umum dari hadits.
2. Hadis Secara terminologi:
مَا اُضِيْفَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلاً اَوْ فِعْلاً اَوْتَقْرِيْرًا اَوْ نَحْوِهَا
“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan dan lainnya”
3. Fungsi hadis:
- Bayan Taqrir: yaitu berfungsi memperkuat hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an.
- Bayan Tafsir: yaitu berfungsi menafsirkan atau menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an.
- Bayan Tasyri: yaitu menetapkan hukum yang belum ada di dalam al-Qur’an.
0 Komentar