Ticker

10/recent/ticker-posts

HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU LAINNYA



1.      Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf
Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian perintah allah dan juga melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dan lain sebagainya, yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Qur'an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma'ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu, dalam istilah sufi disebut dengan al-takhalluq bi akhlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau  al-attishaf bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah.
2.      Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu Tauhid
Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid ini sekurang-kurangnya dapat dilihat melalui dua analisis sebagai berikut; Pertama, dilihat dari segi obyek pembahasannya, IlmuTauhid membahas masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-Nya. Kepercayaan yang mantap kepada Tuhan yang demikian itu, akan menjadi landasan untuk mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan manusia, sehingga perbuatan yang dilakukan manusia itu akan tertuju semata-mata karena Allah SWT. Dengan demikian, Ilmu Tauhid akan mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas, dan keikhlasan itu merupakan salah satu akhlak yang mulia.
Kedua, dilihat dari segi fungsinya, Ilmu Tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman yang enam dengan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh terhadap subyek yang terdapat dalam rukun iman itu. Jika kita percaya bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang mulia, maka sebaiknya manusia yang bertauhid meniru sifat-sifat Tuhan itu. Allah SWT. misalnya bersifat al-rahman dan al-rahim, (Maha Pengasih dan Maha Penyayang), maka sebaiknya manusia meniru sifat tersebut dengan mengembangkan sikap kasih sayang di muka bumi.
Dari uraian ini dapat dilihat degan jelas adanya hubungan yang erat antara keimanan yang dibahas dalam Ilmu Tauhid dengan perbuatan baik yang dibahas dalam Ilmu Akhlak. Ilmu Tauhid tampil dalam memberikan landasan terhadap Ilmu Akhlak, dan Ilmu Akhlak tampil memberikan penjabaran dan pengamalan dari Ilmu Tauhid. Tauhid tanpa akhlak yang mulia tidak akan ada artinya, dan akhlak yang mulia tanpa tauhid tidak akan kokoh. Selain itu Tauhid memberikan arah terhadap akhlak, dan akhlak memberi isi terhadap arahan tersebut. Di sinilah letaknya hubungan yang erat dan dekat antara tauhid dan akhlak.

3.      Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu jiwa.
Dilihat dari segi bidang garapannya, Ilmu Jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku. Melalui Ilmu Jiwa dapat diketahui sifat-sifat psikologis yang dimiliki seseorang. Jiwa yang bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan Tuhan misalnya, akan melahirkan perbuatan dan sikap yang baik pula, sebaliknya jiwa yang kotor, banyak berbuat kesalahan dan jauh dari Tuhan akan melahirkan perbuatan yang jahat, sesat dan menyesatkan orang lain.
Dari uraian tersebut menggambarkan adanya hubungan yang erat antara potensi psikologis manusia dengan Ilmu Akhlak. Dengan kata lain melalui bantuan informasi yang diberikan Ilmu jiwa, atau potensi kejiwaan yang diberikan al-Qur'an, maka secara teoretis Ilmu Akhlak dapat dibangun dengan kokoh. Dengan demikian ilmu jiwa adalah ilmu yang dapat digunakan sebagai alat atau sarana untuk mengembangkan akhlak pada diri seseorang.

4.      Hubungan ilmu Akhlak dengan ilmu pendidikan.
Ilmu pendidikan ilmu yang berbicara mengenai berbagai aspek yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan pendidikan. Dalam ilmu ini antara lain dibahas tentang rumusan tujuan pendidikan, materi pelajaran (kurikulum), guru, metode, sarana dan prasarana, lingkungan, bimbingan, proses belajar-mengajar dan lain sebagainya.
Semua aspek pendidikan tersebut ditujukan pada tercapainya tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan ini dalam pandangan Islam banyak berhubungan dengan kualitas manusia yang berakhlak. Ahmad D. Marimba misalnya mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup seorang Muslim,  yaitu menjadi hamba Allah yang mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya. Sementara itu Mohd. Athiyah al-Abrasyi, mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah jiwa dari pendidikan Islam, dan Islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan.

5.      Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu filsafat.
Filsafat sebagaimana diketahui adalah suatu upaya berpikir mendalam, radikal, sampai ke akar-akarnya, universal dan sistematik dalam rangka menemukan inti atau hakikat mengenai segala sesuatu. Dalam filsafat segala sesuatu dibahas untuk ditemukan hakikatnya. Kita misalnya melihat berbagai merek kendaraan, lalu kita memikirkannya, membandingkan antara barang itu dan lainnya, kemudian kita menemukan inti atau hakikat kendaraan, yaitu sebagai sarana transportasi.
Pemikiran Ibn Khaldun tentang manusia misalnya. Dalam melihat manusia Ibn Khaldun mendasarkan diri pada asumsi-asumsi kemanusiaan yang sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dalam ajaran Islam. Ia melihat manusia sebagai makhluk berpikir. Oleh karena itu manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.
Tetapi dalam kacamata Ibn Khaldun, kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidak lahir dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses tersebut dewasa ini dikenal dengan nama evolusi. Berbeda dengan Charles Darwin ( I809-1882 M) yang melihat proses kejadian manusia sebagai hasil evolusi makhluk-makhluk organik. Khaldun menghubungkan kejadian manusia (sempurna) dalam perkembangan dan pertumbuhan alam semesta. Dalam pemikiran Ibn Khaldun tersebut tampak bahwa manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud manakala ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ini menunjukkan tentang perlunya pembinaan manusia, termasuk dalam pembina akhlaknya.
Gambaran tentang manusia yang terdapat dalam pemikiran filosofis itu akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya, berkomunikasi dengannya dan sebagainya. Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang aman dan damai.

Posting Komentar

0 Komentar