Dalam upaya memahami kompleksitas hukum merokok dari perspektif fikih Islam dan relevansinya terhadap kondisi sosial, budaya, dan lingkungan saat ini, Dr. Agus Hermanto, MHI menyampaikan kajian komprehensif dalam paparannya berjudul "Fikih Rokok: Antara Berpikir Jaringan dan Menjaga Lingkungan Berkelanjutan."
Kajian ini menyoroti urgensi pengendalian rokok di tengah berbagai regulasi yang telah diterbitkan pemerintah. Di antaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, serta fatwa MUI tahun 2009 yang menyatakan bahwa merokok adalah haram bagi anak-anak, wanita hamil, dan di tempat umum.
Namun demikian, fenomena perokok di Indonesia masih meresahkan. Rokok bukan hanya dikonsumsi oleh kalangan umum, tapi juga oleh akademisi, ilmuwan, hingga tenaga medis. Dr. Agus menggarisbawahi bahwa persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial budaya, di mana merokok sering dikaitkan dengan maskulinitas, spiritualitas, dan simbol sosial dalam komunitas tertentu.
Kajian juga menelaah secara kritis pendekatan berpikir jaringan (network thinking), di mana perilaku merokok dipengaruhi oleh berbagai elemen yang saling terhubung: jaringan pribadi dan psikologis, jaringan sosial dan budaya, jaringan ekonomi dan industri, serta kebijakan publik. Industri rokok menjadi aktor kuat yang membentuk ekosistem tersendiri melalui iklan, lobi, dan kontribusi ekonomi yang semu karena tak sebanding dengan dampak kesehatannya.
Di sisi hukum Islam, Dr. Agus menggunakan pendekatan nalar al-narajil, yang mencerminkan pemikiran berlapis dengan basis maqasid al-syariah. Merokok dinilai bertentangan dengan tujuan syariat yang menekankan perlindungan terhadap agama (al-din), jiwa (al-nafs), akal (al-‘aql), keturunan (al-nasl), harta (al-mal), dan lingkungan (al-bi’ah).
Dalam kesimpulannya, Dr. Agus menyatakan bahwa merokok cenderung masuk kategori makruh tahrim (perbuatan yang mendekati haram) hingga haram, terutama di wilayah-wilayah yang sudah memiliki peraturan pelarangan merokok. Berdasarkan kaidah fikih la dharar wa la dhirar (tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain), tindakan merokok dinilai merusak secara pribadi, sosial, ekonomi, dan ekologis.
Ia menekankan bahwa perlindungan syariat bertujuan untuk menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan (jalbul mashalih wa daf‘ul mafasid), sehingga segala bentuk perilaku yang berdampak negatif lebih besar dari manfaatnya — seperti merokok — harus dicegah.
0 Komentar