A. Fungsi Masjid
Fungsi masjid yang paling penting adalah
sebagai tempat ibadah, khususnya shalat berjama’ah dan pusat kegiatan
kemasyarakatan bagi umat Islam. Demikian penting fungsi masjid sehingga masjid
dapat dijumpai dimana-mana, baik di desa maupun di kota. Suatu hal yang perlu
diperhatikan dari keberadaan masjid adalah upaya memakmurkannya. Sebab,
kemakmuran masjid sangat berpengaruh besar terhadap pembinaan keimanan,
peribadatan, dan kemasyarakatan.
Allah Swt berfirman:
إِنَّمَا
يَعْمُرُ مَسجِدَ اللهِ مَنْ امَنَ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ وَأَقَامَ
الصَّلوةَ وَاتَى الزَّكوةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ الله َفَعَسَى أُولئِكَ أَنْ
يَكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ )التوبة :١٨(
Artinya: “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah ialah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, mendirikan shalat dan menunaikan
zakat serta tidak takut kecuali kepada Allah. Merekalah orang-orang yang
diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”.(QS.
at-Taubah:18).[1]
Apabila
dikaji secara seksama, ayat tersebut memberi penekanan bahwa pembangunan masjid
merupakan manifestasi dari keimanan, karena hanya orang yang berimanlah yang
sanggup memakmurkan masjid. Mereka mendirikan shalat berjama’ah dan menunaikan
zakat sebagai bentuk solidaritas kepada sesama serta merasa takut hanya kepada
Allah Swt. Jadi fungsi masjid tidak bisa diukur dengan bentuk arsitektur dan
hiasannya, tetapi diukur dengan kemakmuran dan pengaruh bagi masyarakat
lingkungannya.
Secara kebahasaan masjid
berarti tempat sujud atau tempat menyembah Allah Swt. Dalam pandangan hukum
Islam bahwa bumi yang ditempati ini adalah masjid bagi kaum muslimin. Setiap
muslim boleh melakukan shalat di tempat manapun di bumi ini, terkecuali di atas
kuburan, di tempat-tempat yang bernajis, dan tempat-tempat yang menurut
syari’at Islam tidak sesuai untuk dijadikan tempat shalat.[2]
Rasulullah
Saw bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيى, ثَنَا يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ, ثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِ وَابْنِ يَحْيَ, عَنْ أَبِيْهِ, وَحَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ, عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْي, عَنْ أَبِيْهِ, عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةُ وَاْلَحَمَّام.ُ رواه ابن ماجه
Artinya: “Mewartakan kepada kami Muhammad bin Yahya, mewartakan kepada kami
Yazid bin Harun, mewartakan kepada kami Sufyan, dari Amr bin Yahya, dari
ayahnya, dari Abu Sa’id al Khudriy dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: bumi
itu seluruhnya adalah masjid, kecuali kuburan dan kamar mandi. (HR. Ibnu
Majah).[3]
Dalam
hadits lain Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ رِبْعِىٍّ, عَنْ خُذَيْفَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فُضِّلْنَا عَلَى النَّاسِ بِثَلاَثٍ: جُعِلَتْ صُفُوْفُنَا كَصُفُوْفِ الْمَلاَئِكَةِ. وَجُعِلَتْ لَناَ اْلأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا. وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُوْرًا, إِذَا لَمْ نَجِدِ اْلماَءَ وَذَكَرَ خَصْلَةً أُخْرَى.
رواه مسلم
Artinya: “Bersumber dari Rubai’i dari Hudzaifah yang mengatakan: Rasulullah
SAW bersabda: Kami diberi tiga keutamaan atas manusia yang lain; barisan kami
dijadikan laksana barisan-barisan malaikat. Semua bumi kami yang ada dijadikan
sebagai masjid. Dan pasirnya dijadikan sesuatu yang dapat mensucikan manakala
kami tidak mendapatkan air. Beliau juga menuturkan hal lainnya lagi”. (HR.
Muslim)[4]
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa
masjid tidak bisa dilepaskan dari pelaksanaan ibadah shalat. Sehingga
ketenangan dan kekhusyukan di dalam masjid harus dijaga, karena masjid adalah
rumah Allah Swt yang harus dijaga dari segala bentuk kericuhan dan kegaduhan,
supaya ketika seorang muslim memasuki dan beribadah di dalamnya, dapat
menemukan ketenangan dan ketentraman, sehingga ia dapat bermunajat kepada
Tuhannya dengan khusyuk.[5]
Masjid
pertama yang didirikan oleh Rasulullah SAW adalah masjid Quba. Masjid itu
dibangun oleh Nabi SAW bergotong royong bersama para sahabat yang terdiri dari
pelepah kurma dan daun kurma serta batu-batu gurun. Mihrab yang menjadi tanda
kiblat terbuat dari batu bata. Masjid tersebut berbentuk persegi empat, dengan
dinding di sekelilingnya.[6]
Menurut
sejarah masjid Quba berdiri pada tanggal 12 Rabiul awal tahun pertama hijriah
atau sekitar 622 masehi. Di masjid tersebutlah para sahabat melakukan shalat
berjama’ah. Di tempat masjid itu pula Nabi Saw menyelenggarakan shalat jum’at
untuk yang pertama kalinya.[7]
Sebagai
masjid pertama yang didirikan oleh Nabi Saw dan para sahabatnya tentu sangat
sederhana dalam pembuatannya, baik dalam bentuk maupun rupa. Karena yang
dipikirkan adalah bukanlah keindahan masjid, akan tetapi yang dipikirkan adalah
dayaguna dan fungsinya.
Sebagaimana
dikemukakan diatas bahwa fungsi utama masjid adalah tempat sujud kepada Allah
SWT, tempat shalat dan tempat beribadah kepada-Nya. Lima kali sehari semalam
umat Islam dianjurkan melakukan shalat berjamaah di masjid. Masjid juga
merupakan tempat yang paling banyak dikumandangkan nama Allah melalui adzan,
qamat, tasbih, tahlil, istigfar, dan ucapan lain yang dianjurkan dibaca di
masjid sebagai bagian dari lafadz yang berkaitan dengan pengagungan Asma Allah.[8]
Di
masa Rasulullah Saw masjid juga digunakan sebagai tempat untuk bermusyawarah
untuk memecahkan persoalan-persoalan umat bersama-sama sahabat-sahabatnya dan
sebagai tempat berteduh dari panas terik matahari di padang pasir yang tandus.
Selanjutnya
Nabi Saw membangun masjid lain di tengah kota Madinah, yakni masjid Nabawi,
yang kemudian menjadi pusat aktivitas Nabi dan pusat kendali seluruh masalah
umat Islam.
Dewasa ini umat Islam terus menerus
mengupayakan pembangunan masjid, sehingga bermunculan masjid-masjid baru
diberbagai tempat yang bervariasi, disamping renovasi atas masjid-masjid
lama. Semangat mengupayakan rumah-rumah Allah itu layak dibanggakan.
Hampir di seluruh antero tanah air ini tidak tidak ada yang tidak tersentuh
oleh pembangunan masjid. Ada yang berukuran kecil tapi mungil dan adapula yang
berukuran besar dan megah, bahkan bertingkat.[9]
Pada
zaman dahulu masjid dibangun dengan sederhana, seperti masjid Quba yang
dibangun oleh Rasulullah Saw bersama para sahabat, yang dibuat dari pohon
kurma. Namun dalam perkembangaannya, masjid banyak mengalami perubahan dalam
bentuk arsitektur dan hiasannya, sehingga banyak masjid berdiri dengan sangat
megah yang dipenuhi dengan gambar kaligrafi dan hiasan dinding yang indah.
Padahal Allah Swt telah berfirman:
اَلْهكُمُ التَّكَاثُرُ
Artinya: “Bermegah-megahan telah
melalaikan kamu”. (QS. At-takatsur: 1).[10]
Dalam
hadits Rasulullah Saw bersabda:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مُعَاوِيَةَ اْلجُمْحِيُّ: ثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ أَيُّوْبَ عَنْ أَبِى قِلاَبَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ. قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى اْلمَسْجِدِ.
رواه مسلم
Artinya: “Mewartakan kepada kami Mu’awiyah al Jumhiy, mewartakan Hammad bin
Salmah, dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Anas Ibnu Malik berkata: Rasulullah
SAW bersabda: Tidak akan terjadi hari kiamat hingga
orang-orang berbangga-bangga (bermegah-megah) dengan masjid”. (HR.
Muslim).[11]
Kedua
dalil tersebut yang sering digunakan untuk tidak bermegah-megah atau menghiasi
masjid. Hal ini mengingat masjid Quba dan masjid Nabawi di masa Rasulullah Saw
itu sangat sederhana.
Masalah
menghias masjid memang diperselisihkan oleh para ulama dimasa lalu. Namun
perselisihan mereka berangkat dari pandangan bahwa bangunan yang megah
dan hiasan itu sangat mahal, karena arsitektur dan ukiran kaligrafi
serta asesorisnya terkadang terbuat dari emas dan perak. Mereka beranggapan
bahwa alangkah lebih baiknya dana yang digunakan untuk bangunan yang megah dan
hiasan masjid itu diberikan kepada mereka yang membutuhkan, yaitu para fakir
miskin. Atas dasar tersebut maka banyak para ulama yang tidak membolehkan untuk
menghias masjid dan adapula yang menganggap bahwa itu bid’ah, membuang harta
dan haram hukumnya.
Namun
di sisi lain arsitektur dan keindahan masjid pun harus diperhatikan, hal ini
berdasarkan hadits yang secara umum menganjurkan keindahan, seperti hadis
berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِنَّ اللهَ
جَمِيْلٌ وَ يُحِبُّ الْجَمَالَ .رواه مسلم
Artinya: “Dari Abdullah ibnu Mas’ud, dari Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya
Allah itu indah dan menyukai keindahan”. (HR. Muslim).[12]
Namun
masalah ini memang hanya masalah khilafiyah dikalangan para fuqaha, bahkan
ke-empat Imam Madzhab pun tidak sama pendapatnya dalam menanggapi masalah
menghias masjid tesebut. Hanafiyah beranggapan tidak
mengapa untuk menghias masjid asalkan bukan pada bagian mihrabnya.
Sedangkan Malikiyah beranggapan bahwa
menghias masjid pada bagian kiblat itu hukumnya makruh, namun bila pada arah
lain hukumnya tidak makruh. Adapun Syafi’iyah dan Hanabilah memakruhkan
penghiasan masjid, namun apabila dengan menggunakan emas dan perak itu hukumnya
haram.
Jadi
jelaslah bahwa antara empat Madzhab berbeda pendapat tentang hukum menghias
masjid, dengan berbagai macam argumen atau alasan yang mereka kemukakan.
B. Pendapat Imam Madzhab Tentang
Hukum Menghias Masjid
1.
Madzhab Hanafi
Al Hanafiyah beranggapan bahwa tidak
mengapa untuk menghias masjid dengan beragam ukiran dan kaligrafi. Asalkan
bukan pada bagian mihrabnya. Alasannya, agar orang yang shalat tidak terganggu
konsentrasinya. Yang dimaksud dengan ukiran di masjid adalah membuat hiasan
dengan tatahan emas dan perak. Namun bila dana yang digunakan untuk hiasan itu
berasal dari harta wakaf secara umum yang niatnya untuk masjid, menurut beliau
hukumnya haram. Jadi yang boleh adalah harta dari seseorang yang niatnya memang
untuk keperluan perhiasan itu.[13]
Dalam kitab Al-Fiqh ‘Ala al-
Madzahibil Arba’ah disebutkan:
اَلْحَنَفِيَّةُ
قَالُوْا: يُكْرَهُ نَقْشُ الْمِحْرَابِ وَجُدْرَانُ اْلقِبْلَةِ بِجِصٍّ مَاءٍ
ذَهَبٍ اِذَا كَانَ النَّقْشُ بِمَالٍ حَلاَلٍ لاَ مِنْ مَالِ الْوَقْفِ, فَاِنْ
كَانَ بِمَالٍ حَرَامٍ اَوْ مِنْ مَالِ الْوَقْفِ حَرَمٌ, وَلاَيُكْرَهُ نَقْشُ
سَقْفُهُ وَبَاقِىَ جُدْراَنُهُ بِالْمَالِ الْحَلاَلِ الْمَمْلُوْكِ,وَاِلاَّ
حَرَمٌ, وَلاَ بَاْسَ بِنَقْشِهِ مِنْ مَالِ الْوَقْفِ اِذَا خِيْفَ ضِيَاعُ
الْمَالِ فِى اَيْدِى الظُّلْمَةِ, اَوْكَانَ فِيْهِ صِيَانَةٌ لِلْبِنَاءِ,
اَوْفَعَلَ الْوَاقِفِ مِثْلُهُ.
Artinya : “Madzhab Hanafi (al Hanafiyah) mereka berkata: mengukir mihrab dan
dinding arah kiblat dengan lepoh air emas adalah makruh jika ukiran itu dengan
harta halal, tidak dari harta wakaf. Jika ukiran itu dengan harta haram atau
dengan harta wakaf, haram hukumnya. Mengukir atap dan dinding arah yang lain
dengan harta halal dan milik orang hukumnya tidak makruh. Jika sebaliknya
hukumnya haram. Mengukir masjid dengan harta wakaf tidak apa-apa jika harta itu
dikhawatirkan jatuh ke tangan orang yang dzhalim atau dengan tujuan untuk
menjaga bangunan atau dilaksanakan oleh orang yang wakaf".[14]
Menurut golongan
hanafiyah menghias masjid pada selain bagian itu hukumnya tidak makruh jika
dengan menggunakan harta halal yang memang diperuntukkan untuk menghias masjid,
namun apabila menghias itu menggunakan harta wakaf itu hukumnya haram, namun
apabila harta itu ditakutkan jatuh ke tangan orang yang dzalim atau bertujuan
untuk menjaga bangunan itu diperbolehkan.
Madzhab Hanafi juga
menyatakan bahwa menghias masjid adalah perbuatan yang sangat dicintai, karena
menghias masjid adalah bagian dari pembangunannya dan Allah memuji orang yang
mengerjakannya.
Sebagaimana Firman Allah SWT:
إِنَّمَا
يَعْمُرُ مَسجِدَ اللهِ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأَخِرِ وَأَقَامَ
الصَّلوةَ وَءَاتَى الزَّكَوةَ وَلَمْ وَيَخْشَ إِلاَّ الله َفَعَسى أُولئِكَ أَنْ
يَكُوْنُوْ مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ. (التوبة: ١٨)
Artinya: “Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah ialah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, mendirikan shalat dan menunaikan
zakat serta tidak takut kecuali kepada Allah. Merekalah orang-orang yang
diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”.(QS.
at-Taubah:18).[15]
Sahabat kami berkata
diperbolehkan dan tidak makruh dan tidak juga disunnahkan menghiasi masjid,
karena masjid Rasulullah SAW beratapkan dari pelepah kurma dan itu cukup untuk
melidungi ketika hujan datang, dan pada masa khalifah usman meninggikannya dan
membangunnya kembali dan menaburkan batu kerikil sebagaimana pada masa
sekarang. Sumber perbedaan pendapat pada bagian selain mihrab, sedangkan
menghias mihrab itu hukumnya makruh, karena itu dapat mengganggu orang-orang
yang sedang shalat.
Dalam kitab Tabyinul Haqaiq Syarh
Kanz Ad-Daqaiq juga dikatan:
قَالَ رَحِمَهُ اللهِ وَلاَ نَقْشُهُ
بِالْجِصِّ وَمَاءِ الذَّهَبِ أَيْ لاَيُكْرَهُ نَقْشُ الْمَسْجِدِ بِهِمَا
وَفِيْهِ إِشَارَةٌ إِلَي أَنَّهُ لاَ يُؤْجَرُ عَلَيْهِ.[16]
Artinya: “Imam Abu Hanifah r.a berkata: (dan aku tidak mengukir masjid
dengan kapur pelebur rumah dan air emas) yakni tidak makruh mengukir masjid
dengan keduanya, dan itu menunjukkkan bahwa mengukir masjid tidak mendapat
pahala”.
Dengan demikian, dari
pernyataan tersebut diatas dapat diketahui bahwa mengukir atau menghias masjid
itu hukumnya tidak makruh, hanya saja menghias masjid itu termasuk perbuatan
yang tidak mendapat pahala atau ganjaran dari Allah SWT.
Sedangkan sebagian
fuqaha yang memakruhkannya itu berdasarkan hadits Nabi:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللهِ بْنُ مُعَاوِيَةَ اْلجُمْحِيُّ: ثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ, عَنْ
أَيُّوْبَ, عَنْ أَبِى قِلاَبَةَ, عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ. قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى
يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى اْلمَسْجِد.ِ (رواه ابن ماجه)
Artinya:“Mewartakan kepada kami Abdulllah Bin Muawiyah al-Jumhiy,
mewartakan kepada kami salmah, dari Ayyub, dari Abi Qilabah, dari Anas Bin
Malik berkata: Rasullah SAW bersabda Tidak akan terjadi hari kiamat hingga
orang-orang berbangga-bangga (bermegah-megah) dengan masjid”. (HR. Ibnu Majah).[17]
Berkata
Umar Ibnu Abdul Aziz tentang kalimat ini ketika utusan Walid bin Abdil Malik
lewat dengan membawa empat puluh ribu dinar untuk menghiasi masjid Nabi SAW,
sedangkan orang-orang miskin lebih membutuhkan daripada kita membuat tiang
bulat panjang. Dan sebagian juga menyatakan bahwa mengukir masjid itu merupakan
pendekatan diri dalam rangka mengagungkan masjid dan memuliakan agama. Kabah
pun pernah dihias dengan air mas dan perak kemudian ditutup dengan sutra yang
bergambar-gambar dan berlukiskan sebagai bentuk pengagungan bagi kabah. Dan
menurut kami itu tidak apa-apa dan juga tidak disunnahkan, dan penggunaan uang
untuk orang-orang miskin itu lebih dicintai.
Akan tetapi hendaknya
tidak menghias pada bagian mihrab, yang demikian itu hukumnya makruh, karena
dapat mengganggu orang-orang yang sedang shalat dan mengandung larangan dari
hadits dalam menghias masjid dan menghias masjid yang dibarengi dengan
meninggalkan shalat.
Dan ini apabila
dikerjakan dengan hartanya sendiri, sedangkan orang yang mewakili itu tidak
berhak untuk menghias masjid dengan menggunakan harta
wakaf, apabila ia melakukannya maka ia harus menggantinya.
Adapun masalah tulisan pada dinding masjid
dalam kitab Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahibil Arba’ah dikatakan:
اَلْحَنَفِيَّةُ قَالُوْا: لاَيَنْبَغِى
الْكِتَابَةُ عَلَى جُدْرَانِ الْمَسْجِدِ خَوْفًا مِنْ اَنْ تَسْقُطَ وَتَهَانَ
بِوَطْءِ اْلاَقْدَامِ.
Artinya: “Madzhab Hanafi (al Hanafiyah) mereka berkata: memberikan tulisan
pada dinding masjid sebaiknya tidak dilakukan sebab
dikhawatirkan tulisan itu jatuh dan didinjak-injak”.[18]
Dari uraian tersebut
diatas dapat diketahui Madzhab Hanafi beranggapan bahwa mengukir atau menghias
masjid itu tidak makruh (mubah), asalkan bukan pada bagian mihrabnya, baik itu
menggunakan emas atau perak, alasannya agar tidak mengganggu orang yang shalat.
Adapun menghias masjid pada bagian mihrabnya itu hukumnya makruh.
2.
Madzhab Maliki
Al-Malikiyah memakruhkan perhiasan dinding
masjid, termasuk atapnya, kayunya dan hijabnya, bila hiasan itu terbuat dari
emas atau perak dan bila sampai mengganggu konsentrasi para jamaah yang shalat.
Namun bila hiasan itu di luar dari apa yang disebutkan, tidak ada
kemakruhannya.
Dalam kitab Manh al-Jalil Syarh
Mukhtashar Khalil dikatakan:
وَكُرِهَ
تَزْوِيْقُ قِبْلَةٍ أَوْ غَيْرِهِ وَكَذَا اْلكِتَابَةُ فِيْهَا وَتَزْوِيْقُ
مَسْجِدٍ بِذَهَبٍ أَوْ شَبَهِهِ لاَ اتَّقَانَ بِنَائِهِ وَتَجْصِيْصِهِ
فَيُنْدَبَانِ.[19]
Artinya: “Dan dimakruhkan menghias pada arah kiblat dan lainnya, begitu
juga membuat tulisan di dalam masjid dan juga menghias masjid dengan emas dan
sejenisnya, tidak termasuk bangunannya dan mengecatnya”.
Dikatakan dalam Hasyiyah:
bahwa menghias dinding, atap, kayu dan hijab dengan emas dan perak di dalam
rumah itu dibolehkan. sedangkan di masjid hukumnya makruh, karena
mengganggu orang yang shalat.
Al-Burzuli
berkata ketika berbicara tentang hukum-hukum masjid dalam masalah shalat. Dan
yang nampak dari pendapat beliau, menurut kami sesungguhnya ia memakruhkan
menghiasi masjid dengan emas, karena dapat mengganggu orang yang shalat, namun
apabila itu tidak mengganggu orang yang shalat maka pengertian dzahirnya itu
diperbolehkan.
Dalam kitab al-Fiqh ‘Ala
Madzahibil Arba’ah dikatakan:
اَلْمَالِكِيَّةُ قَالُوْا: يُكْرَهُ نَقْشُ
الْمَسْجِدِ وَتَزْوِيْقُهُ, وَلَوْ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ, سَوَاءٌ كَانَ
ذلِكَ فِى مِحْرَابِهِ اَوْغَيْرَهُ كَسَقْفِهِ وَجُدْرَانِهِ, أَمَّا تَجْصِيْصُ
الْمَسْجِدِ وَتَشْيِيْدُهُ فَهُوَ مَنْدُوْبٌ.
Artinya: “Madzhab Maliki mereka berkata mangukir dan menghias masjid
hukumnya makruh meskipun dengan emas dan perak, baik hal itu dilakukan di
mihrabnya (tempat imam) atau yang lain seperti atap atau dindingnya. Adapun
malepo dan menguatkan masjid mandub hukumnya”.[20]
Dengan demikian dari pernyataan diatas,
dapat diketahui bahwa hukum menghias masjid menurut madzhab Maliki adalah
makruh, baik itu dilakukan di bagian mihrab ataupun atap dan dinding masjid.
Sedangkan memugar atau menguatkan dinding masjid itu hukumnya mandub.
Adapun menghias masjid pada arah kiblat
orang yang shalat itu hukumnya makruh, karena itu dapat menyibukkan
hati orang yang sedang shalat. hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW:
عَنْ
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابْ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا سَاءَ عَمَلُ قَوْمٍ قَطٌّ زَخْرَفُوْا
مَسَاجِدَهُمْ (رواه ابن ماجه).[21]
Arrtinya: “Dari Umar Bin Khatab r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda:
apabila jelek perbuatan umat adalah mereka menghiasi masjid-masjid”. (H.R. Ibnu
Majah).
Sedangkan menulis ayat
al-Qur’an pada dinding masjid menurut malikiyah itu hukumnya makruh, karena
dapat mengganggu orang yang sedang shalat. Namun apabila tulisan itu berada
pada arah lain selain kiblat itu hukumnya tidak makruh.
Dalam
kitab Al-Fiqh Ala Madzahibil Arba’ah dikatakan:
اَلْمَالِكِيَّةُ
قَالُوْا: اِنْ كَانَتِ الْكِتَابَةُ فِى الْقِبْلَةِ كَرَهَتْ ِلأَنَّهَا
تَشْغَلُ الْمُصَلِّى, سَوَاءٌ كَانَ الْمَكْتُوْبَ قُرْآناً اَوْ غَيْرِهِ, وَلاَ
تُكْرَهُ فِيْمَا عَدَا ذلِكَ.
Artinya: “Madzhab Maliki (al-Malikiyyah)
mereka berkata jika tulisan itu berada di arah kiblat hukumnya makruh Karena
hal itu akan mengganggu orang yang sedang shalat. Baik tulisan itu berupa ayat
al-Qur’an atau yang lain. Membuat tulisan di dinding selain kiblat hukumnya
tidak makruh”.[22]
Dari uraian tersebut
diatas dapat diketahui bahwa Madzhab Maliki (al- Malikiyah) beranggapan bahwa
mengukir masjid di arah kiblat hukumnya makruh, meskipun dengan emas dan perak,
karena hal itu akan mengganggu orang yang sedang shalat. Namun apabila
menghias masjid pada arah lain selain kiblat, maka hukumnya tidak makruh.
3.
Madzhab Syafi’i
Madzhab Syafi’iyah sebagaimana yang
disebutkan oleh Az-Zarkasyi mengemukakan bahwa mengukir masjid itu hukumnya
makruh. Namun bila hiasan itu menggunakan harta wakaf yang
diperuntukkan buat masjid secara umum, maka hukumnya haram. Sebab harta wakaf
buat mereka tidak boleh diubah pemanfaatannya begitu saja.[23]
Berkaitan dengan masalah
ukiran dan hiasan seperti membuat ornamen, relief, menulisi ataupun
menggantungkan hiasan pada dinding masjid, para ulama umumnya memakruhkannya,
bahkan ada sebagian ulama yang mengharamkannya. Namun demikian baik ulama yang
memakruhkan maupun yang mengharamkannya, semua sepakat mengharamkan penggunaan
harta waqaf untuk keperluan menghias dan mengukir masjid. Sedangkan jika uang
yang dipakai untuk menghias dan mengukir masjid itu berasal dari pembangunan
itu sendiri, ternyata hal inipun masih diperselisihkan.[24]
Dalam kitab Hawasyi disebutkan:
وَيُكْرَهُ
نَقْشُ اْلَمَسْجِدِ وَاتِّخَاذُ الشُّرُفَاتُ لَهُ بَلْ إِنْ ذلِكَ مِنْ رِيْعٍ
مَا وَقَفَ عَلَي عِمَارَتِهِ فَحَرَامٌ.[25]
Artinya: “Dan dimakruhkan mengukir masjid
dan membuat teras-teras dan apabila itu dilakukan dengan menggunakan
harta wakaf maka hukumnya haram”.
Az-Zarkasyi menyebutkan
pendapat Imam al-Baghawi yang mengatakan: “Tidak boleh mengukir masjid dengan
menggunakan harta waqaf. Bila ada orang yang melakukannya maka dia harus
dituntut untuk membayar ganti rugi, andai ia melakukannya dengan hartanya
sendiri maka hal itu dimakruhkan karena mengganggu kekhusu’an orang-orang yang
shalat”. Pendapat ini adalah pendapat fuqaha Syafi’iyah. Para fuqaha dan
lainnya membolehkannya bila diperlukan.[26]
Dimakruhkan hiasan
masjid dan mengukirnya dan menghiasinya berdasarkan hadits yang mashur dan
dikerenakan dapat menyibukkan hati orang yang sedang shalat. Sebagaimana di
sebutkan dalam kitab Sunan Baihaqi:
عَنْ
أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَبْنُوْا اْلمَسَاجِدَ وَاتَّخَذُوْهَا
جَمًّا. (رواه البيهقي).[27]
Artinya: “Dari Anas dari Nabi SAW berkata: Rasulullah SAW bersabda:
bangunlah masjid-masjid dan buatlah dengan sederhana”. (H.R. Baihaqi).
Dalam hadits lain juga
dikatakan:
وَعَنْ
ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ الله ُعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله
ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَانَا أَوْ نَهَيْنَا اَنْ نُصَلِّيَ فِي مَسْجِدٍ
مُشْرِفٍ (رواه البيهقي)[28]
Artinya: “Rasul melarang kami atau kami dilarang melaksanakan shalat di
masjid yang megah”. (HR. Baihaqi).
Kedua hadits tersebut mengisyaratkan untuk
tidak berlebih-lebihan dalam membangun masjid dan dijadikan dasar oleh ulama
Syafi’iyah untuk tidak menghiasi masjid-masjid. Hadits-hadits lain tentang
keutamaan membangun sangat banyak, dan tidak memberi atau menyebut masjid si
fulan dan masjid yang dibangun oleh si fulan sebagai tanda pengenal.
Dalam kitab Al-Fiqh ‘Ala
al-Madzahibil Arba’ah dikatakan:
وَمِنْهَا
نَقْشُ الْمَسْجِدِ وَتَزْوِيْقُهُ بِغَيْرِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ, أَمَّا
نَقْشُهُ بِهِمَا فَهُوَ حَرَامٌ, وَهذَا
الْحُكْمُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بَيْنَ الشّاَفِعِيَّةِ, وَالْحَنَابِلَةِ.
Artinya: “Diantara hal-hal yang dimakruhkan adalah mengukir masjid dan
menghiasnya dengan selain emas dan perak. Adapun mengukir masjid dengan emas
dan perak hukumnya haram. Ketentuan hukum ini telah disepakati oleh ulama
Syafi’iyyah dan Hanabilah”.[29]
Adapun masalah tulisan pada dinding masjid
dalam kitab Al-Fiqh ‘Ala al- madzahibil Arba’ah dikatakan:
اَلشّاَفِعِيَّةُ
قَالُوْا: يُكْرَهُ كِتَابَةُ شَىْءٍ مِنَ الْقُرْآنِ عَلَى جُدْرَانِ الْمَسْجِدِ
وَسُقُوْفِهِ, وَيُحْرَمُ اْلاِسْنَادُ لِمَا كُتِبَ فِيْهِ مِنَ الْقُرْآنِ,
بِأَنْ يَجْعَلَهُ خَلْفَ ظَهْرِهِ.
Artinya: “Madzhab Syafi’i (As Syafi’iyah) mereka berkata : menulis sebagian
Al-Qur’an di dinding atau atap masjid hukumnya makruh. Sedang
bersandar pada bagian yang terdapat tulisan itu hukumnya haram, misalnya
bersandar dengan punggungnya”.[30]
Dari uraian tersebut
diatas dapat disimpulkan Madzhab Syafi’i menyatakan bahwa mengukir atau
menghias masjid itu makruh hukumnya, dikerenakan dapat menyibukkan hati orang
yang sedang shalat. Sedangkan mengukir masjid dengan emas dan perak
menurut Madzhab Syafi’i itu hukumnya haram.
4. Madzhab Hambali
Madzhab Hambali menyatakan bahwa menghias
masjid itu hukumnya makruh, termasuk mengukir masjid, mengecatnya, dan munulis
pada dinding masjid karena hal itu dapat mengganggu kekhusukan orang yang
sedang shalat.
Dalam kitab Thalibul Ula An-Nahyu
Fi Syarhi Ghayah al-Muntaha disebutkan:
وَتُكْرَهُ
زَخْرَفَتُهُ بِنَقْشٍ وَصِبْغٍ وَكِتَابَةٍ وَنَحْوِهِ مِمَّا يُلْهِى
اْلمُصَلِّي عَنْ صَلاَتِهِ غَالِبًا.[31]
Artinya: “Dan dimakruhkan menghiasi masjid dengan mengukirnya dan
mengcatnya dan memberikan tulisan dan lain sebagainya, karena itu pada umumnya
dapat menggangu orang yang shalat dalam melaksanakan shalatnya”.
Dikatakan dalam hadits
hasan bahwasannya dimakruhkan mengapur masjid dan menghiasinya.[32] Sebagaimana hadits
berikut:
عَنْ
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابْ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا سَاءَ عَمَلُ قَوْمٍ قَطٌّ زَخْرَفُوْا
مَسَاجِدَهُمْ (رواه ابن ماجه)[33]
Artinya: “Dari Umar Bin Khatab r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda:
apabila jelek perbutan umat adalah mereka menghiasi masjid”. (H.R.
Ibnu Majah).
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ سُفْيَانَ أَخْبَرَنَا سُفْيَانَ عُيَيْنَةَ عَنْ سُفْيَانَ
الثَّوْرِيِّ عَنْ أَبِى فَزَارَةَ عَنْ يَزِيْدَ يْنِ اْلأَصَمِّ عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا
أُمِرْتُ بِتَشْيِيْدِ الْمَسَاجِدِ. زَادَ أَبْوْ دَاوُدَ: قَالَ ابْنُ عَبَّاسَ
لَتُزَخْرِفُنَّهَا كَمَا زَخْرَفَتِ اْليَهُوْدُ وَالنَّصَارَى (رواه ابن ماجه)[34]
Artinya: “Mewartakan kepada kami Muhammad bin Sofyan, mengabarkan kepada
kami Sofyan Uyainah dari Sofyan As Tsauri dari Abu Fajarah dari Yazid bin
al-Ashami dari Ibnu Abbas Dari Ibnu Abbas R.a Rasulullah SAW bersabda: aku
tidak diperintahkan untuk menghias masjid. Pada riwayat Abu Dawud ada tambahan:
berkata Ibnu Abbas nanti suatu ketika kamu akan menghias masjid sebagaimana
dilakukan oleh orang Yahudi dan Nasrani”(HR. Ibnu Majah).
Al-Hanabilah adalah mazhab yang tegas
mengharamkan penghiasan masjid yang terbuat dari emas dan perak, buat mereka
bila masjid sudah terlanjur dengan emas dan perak, maka wajib dicopot. Pendapat
ini dikuatkan juga dengan hadits berikut:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللهِ بْنُ مُعَاوِيَةَ اْلجُمْحِيُّ: ثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ, عَنْ
أَيُّوْبَ, عَنْ أَبِى قِلاَبَةَ, عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ. قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى
يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى اْلمَسْجِدِ. (رواه ابن ماجه)
Artinya:“Mewartakan kepada kami Abdulllah Bin Muawiyah al-Jumhiy,
mewartakan kepada kami Salmah, dari Ayyub, dari Abi Qilabah, dari Anas Bin
Malik berkata: Rasullah SAW bersabda Tidak akan terjadi hari kiamat hingga
orang-orang berbangga-bangga (bermegah-megah) dengan masjid”. (HR. Ibnu Majah).[35]
Para ulama banyak yang memakanai sabda
Rasulullah SAW tentang berbangga-bangga dengan masjid ini sebagai bentuk
penghiasan masjid dengan ukiran atau kaligrafi emas dan perak pada
dindingnya. Dan oleh sebagian ulama dijadikan sebagai isyarat tidak bolehnya
kita menghias masjid dengan hiasan yang mewah.
Dalam Kitab Kasyaful Qana’ An
Matan Al-Iqtina’ disebutkan: Diharamkan menghias masjid, yakni
menghias masjid dengan emas dan perak, dan itu wajib untuk dicopot. Dan
dimakruhkan menghias masjid dengan mengukirnya mengecatnya dan
memberi tulisan dan lain sebagainya apabila itu dapat mengganggu orang shalat
dalam melaksanakan shalat pada umumnya, namun apabila menghiasi masjid dengan
menggunakan harta wakaf itu hukumnya haram.
Adapun masalah tulisan pada dinding masjid
dikatakan dalam kitab Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahibil Arba’ah dikatakan:
اَلْحَنَابِلَةُ
قَالُوْا: تُكْرَهُ الْكِتَابَةُ عَلَى جُدْرَانُ الْمَسَاجِدِ وَسُقُوْفِهِ,
وَاِنْ كَانَ فَعَلَ ذَلِكَ مِنْ مَالِ الْوَقْفِ حُرِمَ فِعْلُهُ, وَوَجَبَ
الضَّمَانُ عَلَى الْفَاعِلِ, وَاِنْ كَانَ مِنْ مَالِهِ لَمْ يَرْجِعْ بِهِ عَلىَ جِهَةِ الْوَقْفِ.
Artinya: “Madzhab Hambali (Al Hanabilah)
mereka berkata: membuat tulisan di dinding atau atap masjid hukumnya makruh.
Dan jika hal itu dilakukan dari harta wakaf, maka haram hukumnya, dan bagi
pelakunya wajib menggantinya. Dan jika tulisan itu dari hartanya sendiri, ia
tidak boleh menarik kembali dengan cara mewakafkannya”.[36]
Dari uraian tersebut diatas dapat
diketahui bahwa Madzhab Hambali beranggapan mangukir dan menghias masjid itu
hukumnya makruh, karena hal itu akan mengganggu orang yang sedang
shalat. Menurut Hanabilah mengukir masjid dengan emas dan perak hukumnya
haram.
[1] Departemen Agama
RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara
Penerjemah Al-Qur'an, Jakarta, 1971, hlm. 280.
[2] Moh. E. Ayub. dkk, Manajemen
Masjid, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 1.
[3] Adib Bisri
Musthafa, Terjemah Sunan Ibnu Majah, CV. Asy Syifa,
Semarang, Jilid I, 1992, hlm. 563.
[4] Adib Bisri
Musthafa, Tarjamah Shahih Muslim, CV. Asy Syifa, Semarang, Jilid I,
1992, hlm. 627.
[5] Ahmad
Asy-Syarbashi, Tanya Jawab Lengkap Lengkap Masalah Agama dan
Kehidupan, Penerbit Lentera, Jakarta, 1999, hlm. 64.
[6] Sidi Gazalba, Masjid
tempat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Pustaka Lentera, Jakarta, 1964, hlm.
276.
[7] Moh. E. Ayub. dkk, Op.
cit., hlm. 3.
[8] Ibid., hlm 7.
[9] Ibid ., hlm.
15.
[10] Departemen Agama
RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara
Penerjemah Al-Qur'an, Jakarta, 1971, hlm. 1096.
[11] Adib Bisri
Musthafa, op. cit., hlm. 559.
[12] Ibid., hlm.
247.
[13] http / www. Panduan
Kaligrafi. Com, 20 September 2008.
[14] Moh. Zuhri dkk, Terjemah Al-Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah, CV.
Asyifa, Semarang, 1996, hlm. 506.
[15] Departemen Agama
RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara
Penerjemah Al-Qur'an, Jakarta, 1971, hlm. 280.
[16] Maktabah Syamilah, Kitab
Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanz Ad-Daqaiq, Juz
II, hlm. 300.
[17] Adib Bisri
Musthafa, Terjemah Sunan Ibnu Majah, CV. Asy Syifa,
Semarang, Jilid I, 1992, hlm. 559.
[18] Moh. Zuhri dkk, Op. Cit., hlm. 512.
[19] Maktabah Syamilah, Kitab
Manh al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, Juz II, hlm. 98.
[20] Moh. Zuhri dkk, Loc. Cit.
[21] Abi Bakr Ahmad bin
Al-Husaini ibn Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra li Al-Baihaqi, Daar
As-shodir, Bairut, hlm. 447.
[22] Moh. Zuhri dkk Op. Cit., hlm. 511.
[24] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Sirah Nabawiyah,
Alih Bahasa Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Rabbani Press, Jakarta, 1999, hlm. 173.
[26] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, Loc. Cit.
0 Komentar