A. Pengertian Fatwa
Fatwa merupakan produk hukum Islam yang
sebenarnya sudah ada pada masa Nabi Saw. yang kemudian menjadi produk hukum
Islam yang hingga saat ini masih berkembang. Fatwa-fatwa ulama yang terdapat
dalam kitab-kitab fiqh dan keputusan-keputusan lembaga fatwa merupakan bagian
dari hasil ijtihad yang bersifat kasuistik karena merupakan respons atau
jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa. Fatwa tidak
mempunyai daya ikat dalam arti bahwa peminta fatwa tidak harus mengikuti fatwa
yang diberikan kepadanya. Demikian pula, masyarakat luas tidak harus terikat
dengan fatwa itu, karena fatwa seorang ulama di suatu tempat bisa saja berbeda
dari fatwa ulama lain di tempat yang sama. Fatwa cenderung bersifat dinamis
karena merupakan respons terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi
masyarakat peminta fatwa, meskipun fatwa itu sendiri belum tentu dinamis.
Fatwa menurut arti bahasa (lughawî) adalah
jawaban suatu kejadian (memberikan jawaban yang tegas terhadap segala peristiwa
yang terjadi dalam masyarakat). Menurut Imam Zamakhsyari dalam bukunya Al-Kasyâf, pengertian
fatwa adalah suatu jalan yang lempang atau lurus. Sedangkan fatwa menurut arti
syariat ialah suatu penjelasan hukum syariat dalam menjawab suatu perkara yang
diajukan oleh seseorang yang bertanya, baik penjelasan itu jelas atau ragu-ragu
dan penjelasan itu mengarah pada dua kepentingan, yakni kepentingan pribadi
atau kepentingan masyarakat banyak.[1]
Fatwa berasal dari kata al-fatwâ yang
berarti nasihat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum.
Jamak dari fatwa ialah al-fatâwâ.[2] Pemberi
fatwa disebut muftî, sedangkan yang meminta fatwa dinamakan mustaftî.
Peminta fatwa tersebut bisa saja perorangan, lembaga maupun kelompok
masyarakat. Dengan demikian, berbicara tentang fatwa tidak bisa
terlepas dari bahasan mengenai masalah ijtihad, karena fatwa dalam fikih Islam
sangat berkaitan dengan ijtihad yang dihasilkan para ulama fikih Islam.
Ijtihad dipandang sebagai cara yang pasti untuk menjaga agama atau
pemikiran keagamaan dari kemandegan dalam pola-pola lama dan menjadi terasing
dalam masyarakat yang berubah dengan cepat. Fatwa merupakan perkara yang sangat
urgen bagi manusia, dikarenakan tidak semua orang mampu menggali hukum-hukum
syariat.[3]
Menurut Al-Fayumi Al-fatwâ berasal
dari kata al-fatâ, artinya pemuda yang kuat. Dimaksudkan dengan
pemuda yang kuat, bahwa seorang mufti (pemberi fatwa) harus kuat menghadapi
pertanyaan yang diajukan seseorang atau kelompok dengan jawaban-jawaban yang
baru dengan argumentasi-argumentasi yang kuat. Dalam kitab Al-Ta’rîfât disebutkan,
fatwa berasal dari bahasa Arab al-fatwâ atau al-futyâ,
artinya ialah jawaban terhadap sesuatu yang musykil dalam
bidang hukum.[4]
Dalam istilah ushul fiqih fatwa dikenal
dengan istilah Iftâ, yang artinya memberikan penjelasan. Secara
definitif memang sulit merumuskan tentang arti iftâ atau
berfatwa itu. Namun dari uraian sebelumnya dapat dibuat rumusan sederhana,
yaitu “usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada
orang yang belum mengetahuinya”.[5]
Dalam Mu’zam Lughah Al-Fuqahâ,
fatwa didefinisikan sebagai berikut:
الفتوى: الحكم الشرعي
الذي يبينه الفقيه لمن سأل عنه
“Fatwa adalah hukum syari’ (keagamaan) yang dijelaskan oleh seorang
faqih untuk orang yang bertanya kepadanya”.[6]
Dengan demikian, fatwa berarti pendapat
yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan
peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang
meminta fatwa tersebut bisa pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat. Fatwa
yang dikemukakan mujtahid atau faqih tersebut tidak mesti diikuti oleh orang
yang meminta fatwa, dan karenanya fatwa tersebut tidak mempunyai daya ikat.[7]
Adapun
fatwa menurut Quraish Shihab berasal dari bahasa Arab al-Iftâ yang
secara sederhana dapat dimengerti sebagai “pemeberian keputusan”. Fatwa ialah
sebuah nasehat kegamaan yang diberikan oleh mufti (orang yang memberikan fatwa)
atas dasar permintaan dari seseorang atau kelompok orang Islam. Oleh karena
itu, maka sebuah fatwa pada umunya merupakan gambaran dari berbagai isu dan
topik yang banyak menyita perhatian kaum muslim. Fatwa dalam bentuk demikian
seringkali dikeluarkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan moderen.[8]
Fatwa bukanlah keputusan hukum yang dibuat
dengan mudah dan sekehendak hati, yang disebut membuat-buat hukum tanpa dasar (al-tahakkum).
Fatwa senantiasa terkait dengan siapa yang berwenang memberi fatwa (ijâzah
al-iftâ), kode etik fatwa (adâb al-iftâ), dan metode pembuatan fatwa
(al-istinbâth). H.B. Hooker, peneliti hukum Islam dari Australia
memberikan definisi fatwa adalah suatu jawaban resmi terhadap pertanyaan atau
persoalan penting menyangkut dogma atau hukum, yang diberikan oleh seseorang
yang mempunyai otoritas untuk melakukannya.[9]
Dalam kajian ushul fiqh, dilihat dari segi
produk hukum, terdapat perbedaan antara mujtahid dan mufti. Para mujtahid
berupaya meng-istinbâth-kan (menyimpulkan) hukum dan nas (Al-Quran dan
As-Sunnah) dalam berbagai kasus, baik diminta oleh pihak lain maupun tidak.
Adapun mufti tidak mengeluarkan fatwanya, kecuali apabila diminta dan persoalan
yang diajukan kepadanya adalah persoalan yang bisa dijawabnya sesuai dengan
pengetahuannya. Oleh sebab itu, mufti dalam menghadapi suatu persoalan hukum
harus benar-benar mengetahui secara terperinci kasus yang dipertanyakan,
mempertimbangkan kemaslahatan peminta fatwa, lingkungan yang mengitarinya,
serta tujuan yang ingin dicapai dan fatwa tersebut. Ini sesuai dengan kaidah
ushul fiqh: “akibat dari suatu fatwa kadang-kadang lebih berat dari fatwa itu
sendiri”. Oleh sebab itu, jabatan mufti dalam Islam cukup berat dan penuh
risiko, baik di dunia maupun di akhirat. Karena fatwa yang salah dapat
berakibat menyesatkan umat.[10]
Menurut pakar ushul fiqh yang
membandingkan fatwa dengan ijtihad, menyimpulkan bahwa iftâ itu
lebih khusus dari pada ijtihad. Kekhususannya adalah iftâ itu dilakukan
setelah orang bertanya, sedangkan ijtihad dilakukan tanpa menunggu adanya
pertanyaan dari pihak manapun. Sebenarnya antara keduanya tidak dapat dibandingkan
karena subjeknya berbeda. Ijtihad adalah usaha menggali hukum dari sumber dan
dalilnya, sedangkan iftâ adalah usaha menyampaikan hasil
penggalian melalui ijtihad tersebut kepada orang lain yang
bertanya. Iftâ itu adalah salah satu cara untuk menyampaikan
hasil ijtihad kepada orang lain melalui ucapan. Cara penyampaian lain adalah
melalui perbuatan seperti ketukan palu seorang hakim di pengadilan yang disebut dengan qadhâ.[11]
Namun, mufti juga berbeda
dari hakim, dilihat dari sudut kekuatan hukum dan produk hukum masing-masing.
Fatwa seorang mufti bersifat tidak mengikat al-mustaftî.
Artinya, apabila seseorang meminta fatwa dan mufti memberikan solusi hukum,
al-mustaftî boleh menerima dan mengamalkan fatwa tersebut, boleh juga
menolak serta tidak mengamalkannya. Ini berbeda dengan hukum yang
diputuskan oleh hakim. Putusan hakim bersifat mengikat dan harus dilaksanakan
oleh pihak yang dihukum.[12]
Akan tetapi, pada sisi lain
mufti juga sama kedudukannya dengan hakim (qâdhî), yaitu
menyampaikan hukum kepada umat, karena yang difatwakan atau materi fatwa itu
adalah hukum syara’ yang diperoleh melalui itjihad. Fatwa
disampaikan mufti dengan ucapannya setelah menerima pertanyaan dari
umat. Sedangkan qâdhî menyampaikan hukum melalui
putusan hukum atau dalam proses persidangan setelah perkaranya disampaikan oleh
umat. Keduanya itu merupakan hasil ijtihad.[13]
Seandainya mufti itu adalah seorang mujtahid, maka hukum yang
disampaikannya itu adalah hasil ijtihadnya sendiri.
Seandainya mufti itu adalah seorang muqallid (bertaqlid)
yang menurut sebagian ulama diperbolehkan, maka hukum yang difatwakannya adalah
hukum yang dihasilkan melalui ijtihad hasil temuan seorang imam yang dia ikuti
pendapat (mazhab) nya.
Ibnu Subki menjelaskan tentang masalah
seorang qâdhî yang menetapkan
hukum berbeda dengan hasil ijtihadnya sendiri atau berbeda dengan ijtihad imam
yang diikutinya. Dalam hal ini hukum yang ditetapkannya batal. Mufti dan qâdhî adalah sama dalam hal menyampaikan hasil
ijtihad, hanya caranya yang berbeda, yaitu; mufti melalui lisan
dan qâdhî melalui putusan.
Dari adanya kesamaan ini, maka dapat dikatakan bahwa yang disampaikan oleh
seseorang mufti adalah hasil ijtihadnya
sendiri atau hasil ijtihad imam mujtahid yang diikutinya. Bila ia berbuat lain
dari pendapat itu, dalam arti materi hukum yang disampaikannya berbeda dengan
ijtihadnya sendiri atau berbeda dengan ijtihad imam yang diikutinya, maka
fatwanya itu tidak sah, karena ia memfatwakan sesuatu yang menyalahi
keyakinannya.[14]
Dari
berbagai definisi fatwa tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan fatwa ialah jawaban atas pertanyaan atau persoalan yang berkaitan dengan
hukum. Fatwa ialah sebuah nasehat kegamaan yang berupa jawaban dari sebuah
pertanyaan yang diberikan oleh muftî (orang yang memberikan
fatwa) atas dasar permintaan dari seseorang (mustaftî), baik itu berupa
perorangan ataupun kelompok.
B. Kedudukan Fatwa
Kedudukan fatwa dalam masyarakat Islam
begitu strategis dan mufti yang memiliki otoritas mengeluarkan fatwa kedudukannya
begitu agung sebagai pelanjut kenabian dalam hal membimbing umatnya di beberapa
negara Islam. Saat ini mufti menduduki posisi penting dan merupakan salah satu
lembaga resmi yang mengurus berbagai persoalan umat Islam. Mufti sebagai salah
satu jabatan keagamaan tidak lagi terikat dengan salah satu mazhab, tetapi
bersifat komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai pendapat mazhab, sesuai
dengan kondisi dan situasi masyarakat. Di samping itu, mufti terikat dengan
perundangan-undangan yang disusun oleh negaranya.[15]
Fatwa menempati kedudukan yang sangat
penting, karena muftî (pemberi fatwa), sebagaimana dikatakan
oleh Imam Asy-Syathibi merupakan pelanjut tugas Nabi Saw. Sehingga mufti
berkedudukan sebagai khalifah dan ahli waris Nabi. Sebagaimana hadis Nabi:
الْعُلَماَءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِياَءِ
“Ulama merupakan ahli waris para Nabi”.[16]
Dengan demikian seorang
mufti meenggantikan kedudukan Nabi Saw. dalam hal menyampaikan hukum-hukum
syari’at, mengajarkan kepada manusia, dan memberi peringatan kepada mereka agar
berhati-hati. Disamping menyampaikan apa yang diriwayatkan dari Shahibusy-Syari’ah (Nabi
Saw), mufti juga menggantikan kedudukan beliau dalam menemukan hukum-hukum
yang digali dari dalil-dalil hukum melalui analis dan ijtihadnya. Sehingga jika
dilihat dari sisi ini seorang mufti juga sebagai pencetus
hukum yang harus diikuti dan dilaksanakan keputusannya.[17]
Menurut Abu Ishaq As-Shathibi sebagaimana
dalam Al-Qasimi, seorang mufti menempati posisi Nabi di
hadapan umat. Hal tersebut dapat dilihat dari peranannya,
yakni; pertama, mufti menyampaikan hadis Nabi, kedua,
mufti sebagai pengganti Rasulullah dalam menyampaikan hukum, ketiga,
mufti sebagai pencipta hukum dari satu sisi karena ia menyampaikan hukum
yang dinukil dari Allah dalam Al-Qur’an ataupun hasil istinbâth.[18]
Imam Abu Abdillah Ibnul Qayyim menganggap
seorang mufti sebagai penerima mandat dari Allah Swt. mengenai apa yang ia
fatwakan. Berkaitan dengan hal ini ia menyusun kitab yang yang berjudul “I’lâm
Al-Muwâqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn”, yang di dalam muqadimahnya menyatakan
“Bila kedudukan mandataris (penerima mandat) dari seorang raja merupakan
kedudukan yang tidak diingkari keutamaan dan kemuliannya, sebagai kedudukan
yang tinggi dan terpuji, maka labih-lebih lagi kedudukan seorang yang
mendapatkan dari Rabb bumi dan langit”.[19] Dalam
hal mufti menyampaikan hukum, sejauh yang dinukil langsung dari Al-Quran
maka mufti tersebut berperan sebagai mubaligh. Adapun jika ia
melakukan istinbâth dari dalil naqliyah, ia
berperan menggantikan Nabi dan menciptakan hukum (insyâ’u al-ahkâm),
sedangkan pencipta hukum (asy-Syâri’) hanya Allah dan Rasul-Nya.[20]
Berbicara tentang kedudukan fatwa
keagamaan dalam kehidupan umat Islam tidak terlepas dari seberapa jauh
kemanfaatan fatwa dalam kehidupan umat manusia. Al-Qur’an dan Al-Hadits pada
dasarnya masih bersifat global, sehingga memerlukan adanya perincian secara
analisis, agar umat Islam mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Al-Qur’an
dan hadis Rasulullah Saw. masih perlu ada penjabaran secara mendetail terhadap
masalah-masalah yang diangkat sebelumnya, sepanjang masalah itu masih
bersifat zhanni. Sedangkan masalah dalil-dalil yang bersifat qath’i ada
dua pendapat yang terkenal. Pendapat pertama bahwa dalil-dalil qath’i tidak
perlu penjelasan secara terinci dan mendetail. Adapun pendapat kedua menyatakan
dalil-dalil qath’i pun masih perlu ada penjabaran dan analisis
yang mendalam. Sepanjang tidak keluar dari aturan penafsiran dan takwil-takwil
yang telah ditentukan oleh ketentuan-ketentuan (kaidah) yang berlaku.
Alasan-alasan tersebut dapat dipahami, sebab pada umumnya umat Islam belum
mengetahui secara mendalam tentang isi yang terkandung dalam pernyataan
Al-Qur’an dan Al-Hadits. Oleh karena itu, dalam konteks ini betapa pentingnya
kehadiran fatwa keagamaan (terutama masalah fiqhiyah) yang konkret
dan bertanggung jawab.[21]
Pada hakikatnya fatwa keagamaan merupakan
hasil keputusan para ahli agama Islam dan ilmu pengetahuan umum (yang berkaitan
dengan keagamaan) dalam memberikan, mengeluarkan dan mengambil keputusan hukum
secara bertanggung jawab dan konsisten. Fatwa memberikan kejelasan, kekonkretan
terhadap umat manusia (khususnya umat Islam) dalam hal pemahaman, penalaran
ajaran-ajaran Islam, dan bagaimana aplikasinya. Sehingga fatwa itu seharusnya
mengandung beberapa unsur pokok yang meliputi:
1.
Fatwa sebagai bentuk pengambilan keputusan
hukum syariat yang sedang diperselisihkan;
2.
Fatwa sebagai jalan keluar (follow up)
dari kemelut perbedaan pendapat di antara para ulama atau para ahli;
3.
Fatwa harus mempunyai konotasi kuat, baik
dari segi sosial keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Sebab ada ulama yang
mengatakan bahwa berubahnya fatwa sering terjadi karena bertumbuh dan
berubahnya situasi, kondisi, tempat, dan istiadat;
4.
Fatwa hendaknya mengarahkan pada
perdamaian umat untuk menuju umat wâhidah.[22]
Bila dilihat dari kerangka hukum Islam,
kedudukan fatwa nampaknya meliputi tiga hal. Pertama, fatwa yang
dikeluarkan peradilan (al-Qadhâ), ini seperti yang disampaikan oleh Imam
as-Syarakhsi, pengikut Mazhab Hanafi, dalam kitabnya al-Mabsûth.
Karena peradilan itu sendiri berfungsi untuk menyampaikan keputusan hukum
secara mengikat, maka fatwa tersebut mengikat bagi pihak yang bersengketa dan
sebagai solusi dalam memecahkan masalah bagi yang bersengketa.
Kedua, Fatwa yang dikeluarkan oleh mujtahid
yang diminta oleh muqallid (orang yang karena tidak mempunyai
kemampuan untuk mengetahui hukum, dan hanya dapat mengikuti apa yang ia
ketahui). Fatwa ini seperti ini mengikat bagi mujtahid dan muqallid yang
bersangkutan, tetapi tidak bagi yang lain. Maka disini status mufti (pemberi
fatwa) dan mustaftî (orang yang meminta fatwa), masing-masing
adalah mujtahid dan muqallid, baik berijtihad untuk dirinya sendiri
maupun untuk orang lain yang mengikutinya.
Ketiga, fatwa yang dikeluarkan bukan oleh
mujtahid, tetapi ulama yang berkompeten di bidangnya. Maka fatwa seperti ini
berkedudukan sebagai penjelas atau pelajaran. Hukum asalnya memang tidak
mengikat, kecuali bagi yang mengambilnya sebagai pedoman baginya, atau ketika
ditetapkan oleh negara, ini jika terkait dengan hukum yang memang debatable.
Namun, jika menyangkut aqidah, ide atau gagasan yang bertentangan dengan Islam,
maka status fatwa tersebut merupakan penjelasan yang mengikat dan tidak dapat
diotak-atik lagi. Sebab, jenis fatwa seperti ini tidak lebih dari penjelasan
tentang sesuatu yang intiqa’î, yang tidak perlu diperdebatkan lagi.
Hanya saja, tetap harus diperhatikan bahwa tidak semua oarang dapat memeberikan
fatwa. Ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufti ketika ia
hendak mengeluarkan fatwa.[23]
Menurut Rafli Nazary, berdasarkan hasil
penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa hukum Islam pada umumnya
dihasilkan dari ijtihad para ulama. Ijtihad tersebut dikeluarkan dalam bentuk
fatwa-fatwa keagamaan. Posisi fatwa dan ijtihad akan mengalami kekuatan yang
tangguh (kokoh) apabila didukung oleh dua kondisi berikut:
1. hukum Islam yang dihasilkan oleh para mujtahid non-penguasa, namun hasilnya
dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun ilmiah;
2. hukum Islam yang dihasilkan berdasarkan hasil ijtihad para penguasa yang
telah memenuhi syarat, baik sebagai mujtahid maupun mufti atau qadhi.
Ijtihad yang terakhir (poin 2) adalah
bentuk ijtihad yang dilaksanakan oleh pemerintah yang merupakan kebijaksanaan
untuk mencapai kemashlahatan umat (mashlahah al-mursalah). Dalam
mengemukakan hasil-hasil ijtihad yang dituangkan dalam bentuk fatwa keagamaan
yang valid diperlukan adanya metode pendekatan yang paling mengena. Dalam hal
pembentukan hukum melalui ijtihad dengan cara mengkaji unsur-unsur illat yang
terdapat dalam hukum Islam. Dengan mempelajari illat hukum
Islam secara mendetail akan dapat diketahui secara tepat tentang
rahasia-rahasia yang terkandung dalam ajaran Al-Quran dan Al-Hadis. Ijtihad itu
juga akan memberikan sinyal secara konkret tentang adanya sebab-sebab dan
hikmah-hikmah yang terkandung dalam hukum Islam.[24]
Selanjutnya jika melihat posisi fatwa
dalam kerangka hukum nasional, maka perlu melihat posisi lembaga fatwa dalam
kerangka kelembagaan di pemerintahan. Hal ini dikarenakan, kekuatan mengikat
produk hukum yang dikeluarkan oleh satu lembaga akan dipengaruhi oleh posisi
lembaga tersebut dalam tata pemerintahan. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
misalnya, dalam ketatanegaraan Indonesia sebenarnya berada dalam elemen infra
struktur ketatanegaraan, dalam arti lebih berada di ruang-ruang pemberdayaan
masyarakat, sebab MUI adalah organisasi alim ulama yang mempunyai tugas dan
fungsi untuk pemberdayaan masyarakat atau umat Islam, artinya MUI adalah
organisasi yang ada dalam masyarakat, dan bukan merupakan institusi milik
negara atau memepersentasikan negara. Oleh karenanya Fatwa MUI dalam kerangka
hukum Nasional, fatwa tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akan
tetapi fatwa tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat apabila fatwa
tersebut diperkuat dengan instrumen-intrumen negara yang mempunyai alat
legitimasi, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, atau sejenisnya.[25]
Nampaknya di sinilah letak kedudukan
strategis dari negara dalam pandangan Islam. Dalam sebuah negara Islam, fatwa
adalah merupakan produk hukum yang mengikat apabila diadopsi oleh pemerintah.
Jadi mengikat atau tidaknya sebuah fatwa jika dilihat dari kerangka hukum
nasional sangat bergantung apakah fatwa tersebut termasuk produk hukum yang
diadopsi negara atau tidak.[26]
[1] Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan
dalam Fiqih Islam, (Jakarta : PT Bumi Aksara. 2006), hlm. 7.
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia,
(Jakarta : PT Hidakarya Agung. 1990), cet. ke-8, hlm. 308.
[3] Muhammad
Abû Zahrah, Târîkh al-Mazdâhib al-Islâmiyyah fi al-Siyâsah wa al-Aqâ’id
wa Târîkh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah, (Cairo: Dar al-Fikr. 1989), hlm.16
[4] Badri
Khaeruman, Hukum Islam dalam Perubahan Sosial,
Bandung: Pustaka Setia, 2010., hlm. 104.
[5] Amir syarifuddin, Ushûl Fiqh, (Jakarta
: Logos Wacana Ilmu. 2005), cet. ke-2, hlm. 429.
[6] Khaeruman, Hukum, hlm.
104.
[7] Ibid., hlm. 105.
[8] Aunur Rohim Faqih, Budi Agus Riswandi dan Shabhi
Mahmashani, HKI, Hukum Islam dan Fatwa MUI, (Yogyakarta: Graha
Ilmu. 2010), cet. ke-1, hlm. 29.
[9] Khaeruman, Hukum, hlm.
105-106.
[10] Ibid.
[11] Syarifuddin, Ushul, hlm.
429-430.
[12] Khaeruman, Hukum, hlm.
59.
[13] Syarifuddin, Ushul, hlm. 431.
[14] Ibid.
[15] Khaeruman, Hukum, hlm.
111-112.
[16] Abu
Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr. 1994), Juz. 11, hlm.
34.
[17] Yusuf Al-Qardhawi, Al-Fatwâ Baina al-Indhibâth
wa al-Tasayyub, terj. As’ad Yasin, Fatwa Antara Ketelitian dan
Kecerobohan, (Jakarta : Gema Insani Press. 1997), cet.
ke-1, hlm. 13.
[18] Khaeruman, Hukum, hlm.
112.
[19] Al-Qardhawi, Al-Fatwâ, hlm. 14.
[20] Khaeruman, Hukum, hlm.
112.
[21] Fatah, Analisis, hlm.
27.
[22] Ibid., hlm. 27-28.
[23] Aunur Rohim Faqih, HKI, Hukum
Islam dan Fatwa MUI, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
[24] Khaeruman, Hukum, hlm.
112-113.
[25] Faqih, HKI, hlm.
33-34.
[26]Ibid.
0 Komentar