Ticker

10/recent/ticker-posts

FATWA DAN KEDUDUKANNYA DALAM HUKUM ISLAM




A. Pengertian Fatwa
Fatwa merupakan produk hukum Islam yang sebenarnya sudah ada pada masa Nabi Saw. yang kemudian menjadi produk hukum Islam yang hingga saat ini masih berkembang. Fatwa-fatwa ulama yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh dan keputusan-keputusan lembaga fatwa merupakan bagian dari hasil ijtihad yang bersifat kasuistik karena merupakan respons atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa. Fatwa tidak mempunyai daya ikat dalam arti bahwa peminta fatwa tidak harus mengikuti fatwa yang diberikan kepadanya. Demikian pula, masyarakat luas tidak harus terikat dengan fatwa itu, karena fatwa seorang ulama di suatu tempat bisa saja berbeda dari fatwa ulama lain di tempat yang sama. Fatwa cenderung bersifat dinamis karena merupakan respons terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa, meskipun fatwa itu sendiri belum tentu dinamis.
 Fatwa menurut arti bahasa (lughawî) adalah jawaban suatu kejadian (memberikan jawaban yang tegas terhadap segala peristiwa yang terjadi dalam masyarakat). Menurut Imam Zamakhsyari dalam bukunya Al-Kasyâf, pengertian fatwa adalah suatu jalan yang lempang atau lurus. Sedangkan fatwa menurut arti syariat ialah suatu penjelasan hukum syariat dalam menjawab suatu perkara yang diajukan oleh seseorang yang bertanya, baik penjelasan itu jelas atau ragu-ragu dan penjelasan itu mengarah pada dua kepentingan, yakni kepentingan pribadi atau kepentingan masyarakat banyak.[1]
Fatwa berasal dari kata al-fatwâ yang berarti nasihat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum. Jamak dari fatwa ialah al-fatâwâ.[2] Pemberi fatwa disebut muftî, sedangkan yang meminta fatwa dinamakan mustaftî. Peminta fatwa tersebut bisa saja perorangan, lembaga maupun kelompok masyarakat. Dengan demikian, berbicara tentang fatwa tidak bisa terlepas dari bahasan mengenai masalah ijtihad, karena fatwa dalam fikih Islam sangat berkaitan dengan ijtihad yang dihasilkan para ulama fikih Islam. Ijtihad dipandang sebagai cara yang pasti untuk menjaga agama atau pemikiran keagamaan dari kemandegan dalam pola-pola lama dan menjadi terasing dalam masyarakat yang berubah dengan cepat. Fatwa merupakan perkara yang sangat urgen bagi manusia, dikarenakan tidak semua orang mampu menggali hukum-hukum syariat.[3]
Menurut Al-Fayumi Al-fatwâ berasal dari kata al-fatâ, artinya pemuda yang kuat. Dimaksudkan dengan pemuda yang kuat, bahwa seorang mufti (pemberi fatwa) harus kuat menghadapi pertanyaan yang diajukan seseorang atau kelompok dengan jawaban-jawaban yang baru dengan argumentasi-argumentasi yang kuat. Dalam kitab Al-Ta’rîfât disebutkan, fatwa berasal dari bahasa Arab al-fatwâ atau al-futyâ, artinya ialah jawaban terhadap sesuatu yang musykil dalam bidang hukum.[4]
Dalam istilah ushul fiqih fatwa dikenal dengan istilah Iftâ, yang artinya memberikan penjelasan. Secara definitif memang sulit merumuskan tentang arti iftâ atau berfatwa itu. Namun dari uraian sebelumnya dapat dibuat rumusan sederhana, yaitu “usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya”.[5]
Dalam Mu’zam Lughah Al-Fuqahâ, fatwa didefinisikan sebagai berikut:

الفتوى: الحكم الشرعي الذي يبينه الفقيه لمن سأل عنه
Fatwa adalah hukum syari’ (keagamaan) yang dijelaskan oleh seorang faqih untuk orang yang bertanya kepadanya”.[6]

Dengan demikian, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminta fatwa tersebut bisa pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat. Fatwa yang dikemukakan mujtahid atau faqih tersebut tidak mesti diikuti oleh orang yang meminta fatwa, dan karenanya fatwa tersebut tidak mempunyai daya ikat.[7]
            Adapun fatwa menurut Quraish Shihab berasal dari bahasa Arab al-Iftâ yang secara sederhana dapat dimengerti sebagai “pemeberian keputusan”. Fatwa ialah sebuah nasehat kegamaan yang diberikan oleh mufti (orang yang memberikan fatwa) atas dasar permintaan dari seseorang atau kelompok orang Islam. Oleh karena itu, maka sebuah fatwa pada umunya merupakan gambaran dari berbagai isu dan topik yang banyak menyita perhatian kaum muslim. Fatwa dalam bentuk demikian seringkali dikeluarkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan moderen.[8]
Fatwa bukanlah keputusan hukum yang dibuat dengan mudah dan sekehendak hati, yang disebut membuat-buat hukum tanpa dasar (al-tahakkum). Fatwa senantiasa terkait dengan siapa yang berwenang memberi fatwa (ijâzah al-iftâ), kode etik fatwa (adâb al-iftâ), dan metode pembuatan fatwa (al-istinbâth). H.B. Hooker, peneliti hukum Islam dari Australia memberikan definisi fatwa adalah suatu jawaban resmi terhadap pertanyaan atau persoalan penting menyangkut dogma atau hukum, yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai otoritas untuk melakukannya.[9]
Dalam kajian ushul fiqh, dilihat dari segi produk hukum, terdapat perbedaan antara mujtahid dan mufti. Para mujtahid berupaya meng-istinbâth-kan (menyimpulkan) hukum dan nas (Al-Quran dan As-Sunnah) dalam berbagai kasus, baik diminta oleh pihak lain maupun tidak. Adapun mufti tidak mengeluarkan fatwanya, kecuali apabila diminta dan persoalan yang diajukan kepadanya adalah persoalan yang bisa dijawabnya sesuai dengan pengetahuannya. Oleh sebab itu, mufti dalam menghadapi suatu persoalan hukum harus benar-benar mengetahui secara terperinci kasus yang dipertanyakan, mempertimbangkan kemaslahatan peminta fatwa, lingkungan yang mengitarinya, serta tujuan yang ingin dicapai dan fatwa tersebut. Ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh: “akibat dari suatu fatwa kadang-kadang lebih berat dari fatwa itu sendiri”. Oleh sebab itu, jabatan mufti dalam Islam cukup berat dan penuh risiko, baik di dunia maupun di akhirat. Karena fatwa yang salah dapat berakibat menyesatkan umat.[10]
Menurut pakar ushul fiqh yang membandingkan fatwa dengan ijtihad, menyimpulkan bahwa iftâ itu lebih khusus dari pada ijtihad. Kekhususannya adalah iftâ itu dilakukan setelah orang bertanya, sedangkan ijtihad dilakukan tanpa menunggu adanya pertanyaan dari pihak manapun. Sebenarnya antara keduanya tidak dapat dibandingkan karena subjeknya berbeda. Ijtihad adalah usaha menggali hukum dari sumber dan dalilnya, sedangkan iftâ adalah usaha menyampaikan hasil penggalian melalui ijtihad tersebut kepada orang lain yang bertanya.  Iftâ itu adalah salah satu cara untuk menyampaikan hasil ijtihad kepada orang lain melalui ucapan. Cara penyampaian lain adalah melalui perbuatan seperti ketukan palu seorang hakim di pengadilan yang disebut dengan qadhâ.[11]
Namun, mufti juga berbeda dari hakim, dilihat dari sudut kekuatan hukum dan produk hukum masing-masing. Fatwa seorang mufti bersifat tidak mengikat al-mustaftî. Artinya, apabila seseorang meminta fatwa dan mufti memberikan solusi hukum, al-mustaftî boleh menerima dan mengamalkan fatwa tersebut, boleh juga menolak serta tidak mengamalkannya. Ini berbeda dengan hukum yang diputuskan oleh hakim. Putusan hakim bersifat mengikat dan harus dilaksanakan oleh pihak yang dihukum.[12]
Akan tetapi, pada sisi lain mufti juga sama kedudukannya dengan hakim (qâdhî), yaitu menyampaikan hukum kepada umat, karena yang difatwakan atau materi fatwa itu adalah hukum syara’ yang diperoleh melalui itjihad. Fatwa disampaikan mufti dengan ucapannya setelah menerima pertanyaan dari umat. Sedangkan qâdhî menyampaikan hukum melalui putusan hukum atau dalam proses persidangan setelah perkaranya disampaikan oleh umat. Keduanya itu merupakan hasil ijtihad.[13]
Seandainya mufti itu adalah seorang mujtahid, maka hukum yang disampaikannya itu adalah hasil ijtihadnya sendiri. Seandainya mufti itu adalah seorang muqallid (bertaqlid) yang menurut sebagian ulama diperbolehkan, maka hukum yang difatwakannya adalah hukum yang dihasilkan melalui ijtihad hasil temuan seorang imam yang dia ikuti pendapat (mazhab) nya.
Ibnu Subki menjelaskan tentang masalah seorang qâdhî yang menetapkan hukum berbeda dengan hasil ijtihadnya sendiri atau berbeda dengan ijtihad imam yang diikutinya. Dalam hal ini hukum yang ditetapkannya batal. Mufti dan qâdhî adalah sama dalam hal menyampaikan hasil ijtihad, hanya caranya yang berbeda, yaitu; mufti melalui lisan dan qâdhî melalui putusan. Dari adanya kesamaan ini, maka dapat dikatakan bahwa yang disampaikan oleh seseorang mufti adalah hasil ijtihadnya sendiri atau hasil ijtihad imam mujtahid yang diikutinya. Bila ia berbuat lain dari pendapat itu, dalam arti materi hukum yang disampaikannya berbeda dengan ijtihadnya sendiri atau berbeda dengan ijtihad imam yang diikutinya, maka fatwanya itu tidak sah, karena ia memfatwakan sesuatu yang menyalahi keyakinannya.[14]
Dari berbagai definisi fatwa tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan fatwa ialah jawaban atas pertanyaan atau persoalan yang berkaitan dengan hukum. Fatwa ialah sebuah nasehat kegamaan yang berupa jawaban dari sebuah pertanyaan yang diberikan oleh muftî (orang yang memberikan fatwa) atas dasar permintaan dari seseorang (mustaftî), baik itu berupa perorangan ataupun kelompok.

B. Kedudukan Fatwa
Kedudukan fatwa dalam masyarakat Islam begitu strategis dan mufti yang memiliki otoritas mengeluarkan fatwa kedudukannya begitu agung sebagai pelanjut kenabian dalam hal membimbing umatnya di beberapa negara Islam. Saat ini mufti menduduki posisi penting dan merupakan salah satu lembaga resmi yang mengurus berbagai persoalan umat Islam. Mufti sebagai salah satu jabatan keagamaan tidak lagi terikat dengan salah satu mazhab, tetapi bersifat komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai pendapat mazhab, sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat. Di samping itu, mufti terikat dengan perundangan-undangan yang disusun oleh negaranya.[15]
Fatwa menempati kedudukan yang sangat penting, karena muftî (pemberi fatwa), sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syathibi merupakan pelanjut tugas Nabi Saw. Sehingga mufti berkedudukan sebagai khalifah dan ahli waris Nabi. Sebagaimana hadis Nabi:
الْعُلَماَءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِياَءِ
“Ulama merupakan ahli waris para Nabi”.[16]
Dengan demikian seorang mufti meenggantikan kedudukan Nabi Saw. dalam hal menyampaikan hukum-hukum syari’at, mengajarkan kepada manusia, dan memberi peringatan kepada mereka agar berhati-hati. Disamping menyampaikan apa yang diriwayatkan dari Shahibusy-Syari’ah (Nabi Saw), mufti juga menggantikan kedudukan beliau dalam menemukan hukum-hukum yang digali dari dalil-dalil hukum melalui analis dan ijtihadnya. Sehingga jika dilihat dari sisi ini seorang mufti juga sebagai pencetus hukum yang harus diikuti dan dilaksanakan keputusannya.[17]
Menurut Abu Ishaq As-Shathibi sebagaimana dalam Al-Qasimi, seorang mufti menempati posisi Nabi di hadapan umat. Hal tersebut dapat dilihat dari peranannya, yakni; pertama, mufti menyampaikan hadis Nabi, kedua, mufti sebagai pengganti Rasulullah dalam menyampaikan hukum, ketiga, mufti sebagai pencipta hukum dari satu sisi karena ia menyampaikan hukum yang dinukil dari Allah dalam Al-Qur’an ataupun hasil istinbâth.[18]
Imam Abu Abdillah Ibnul Qayyim menganggap seorang mufti sebagai penerima mandat dari Allah Swt. mengenai apa yang ia fatwakan. Berkaitan dengan hal ini ia menyusun kitab yang yang berjudul “I’lâm Al-Muwâqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn”, yang di dalam muqadimahnya menyatakan “Bila kedudukan mandataris (penerima mandat) dari seorang raja merupakan kedudukan yang tidak diingkari keutamaan dan kemuliannya, sebagai kedudukan yang tinggi dan terpuji, maka labih-lebih lagi kedudukan seorang yang mendapatkan dari Rabb bumi dan langit”.[19] Dalam hal mufti menyampaikan hukum, sejauh yang dinukil langsung dari Al-Quran maka mufti tersebut berperan sebagai mubaligh. Adapun jika ia melakukan istinbâth dari dalil naqliyah, ia berperan menggantikan Nabi dan menciptakan hukum (insyâ’u al-ahkâm), sedangkan pencipta hukum (asy-Syâri’) hanya Allah dan Rasul-Nya.[20]
Berbicara tentang kedudukan fatwa keagamaan dalam kehidupan umat Islam tidak terlepas dari seberapa jauh kemanfaatan fatwa dalam kehidupan umat manusia. Al-Qur’an dan Al-Hadits pada dasarnya masih bersifat global, sehingga memerlukan adanya perincian secara analisis, agar umat Islam mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw. masih perlu ada penjabaran secara mendetail terhadap masalah-masalah yang diangkat sebelumnya, sepanjang masalah itu masih bersifat zhanni. Sedangkan masalah dalil-dalil yang bersifat qath’i ada dua pendapat yang terkenal. Pendapat pertama bahwa dalil-dalil qath’i tidak perlu penjelasan secara terinci dan mendetail. Adapun pendapat kedua menyatakan dalil-dalil qath’i pun masih perlu ada penjabaran dan analisis yang mendalam. Sepanjang tidak keluar dari aturan penafsiran dan takwil-takwil yang telah ditentukan oleh ketentuan-ketentuan (kaidah) yang berlaku. Alasan-alasan tersebut dapat dipahami, sebab pada umumnya umat Islam belum mengetahui secara mendalam tentang isi yang terkandung dalam pernyataan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Oleh karena itu, dalam konteks ini betapa pentingnya kehadiran fatwa keagamaan (terutama masalah fiqhiyah) yang konkret dan bertanggung jawab.[21]
Pada hakikatnya fatwa keagamaan merupakan hasil keputusan para ahli agama Islam dan ilmu pengetahuan umum (yang berkaitan dengan keagamaan) dalam memberikan, mengeluarkan dan mengambil keputusan hukum secara bertanggung jawab dan konsisten. Fatwa memberikan kejelasan, kekonkretan terhadap umat manusia (khususnya umat Islam) dalam hal pemahaman, penalaran ajaran-ajaran Islam, dan bagaimana aplikasinya. Sehingga fatwa itu seharusnya mengandung beberapa unsur pokok yang meliputi:
1.       Fatwa sebagai bentuk pengambilan keputusan hukum syariat yang sedang diperselisihkan;
2.       Fatwa sebagai jalan keluar (follow up) dari kemelut perbedaan pendapat di antara para ulama atau para ahli;
3.       Fatwa harus mempunyai konotasi kuat, baik dari segi sosial keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Sebab ada ulama yang mengatakan bahwa berubahnya fatwa sering terjadi karena bertumbuh dan berubahnya situasi, kondisi, tempat, dan istiadat;
4.       Fatwa hendaknya mengarahkan pada perdamaian umat untuk menuju umat wâhidah.[22]
Bila dilihat dari kerangka hukum Islam, kedudukan fatwa nampaknya meliputi tiga hal. Pertama, fatwa yang dikeluarkan peradilan (al-Qadhâ), ini seperti yang disampaikan oleh Imam as-Syarakhsi, pengikut Mazhab Hanafi, dalam kitabnya al-Mabsûth. Karena peradilan itu sendiri berfungsi untuk menyampaikan keputusan hukum secara mengikat, maka fatwa tersebut mengikat bagi pihak yang bersengketa dan sebagai solusi dalam memecahkan masalah bagi yang bersengketa.
Kedua, Fatwa yang dikeluarkan oleh mujtahid yang diminta oleh muqallid (orang yang karena tidak mempunyai kemampuan untuk mengetahui hukum, dan hanya dapat mengikuti apa yang ia ketahui). Fatwa ini seperti ini mengikat bagi mujtahid dan muqallid yang bersangkutan, tetapi tidak bagi yang lain. Maka disini status mufti (pemberi fatwa) dan mustaftî (orang yang meminta fatwa), masing-masing adalah mujtahid dan muqallid, baik berijtihad untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain yang mengikutinya.
Ketiga, fatwa yang dikeluarkan bukan oleh mujtahid, tetapi ulama yang berkompeten di bidangnya. Maka fatwa seperti ini berkedudukan sebagai penjelas atau pelajaran. Hukum asalnya memang tidak mengikat, kecuali bagi yang mengambilnya sebagai pedoman baginya, atau ketika ditetapkan oleh negara, ini jika terkait dengan hukum yang memang debatable. Namun, jika menyangkut aqidah, ide atau gagasan yang bertentangan dengan Islam, maka status fatwa tersebut merupakan penjelasan yang mengikat dan tidak dapat diotak-atik lagi. Sebab, jenis fatwa seperti ini tidak lebih dari penjelasan tentang sesuatu yang intiqa’î, yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Hanya saja, tetap harus diperhatikan bahwa tidak semua oarang dapat memeberikan fatwa. Ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufti ketika ia hendak mengeluarkan fatwa.[23]
Menurut Rafli Nazary, berdasarkan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa hukum Islam pada umumnya dihasilkan dari ijtihad para ulama. Ijtihad tersebut dikeluarkan dalam bentuk fatwa-fatwa keagamaan. Posisi fatwa dan ijtihad akan mengalami kekuatan yang tangguh (kokoh) apabila didukung oleh dua kondisi berikut:
1.     hukum Islam yang dihasilkan oleh para mujtahid non-penguasa, namun hasilnya dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun ilmiah;
2.     hukum Islam yang dihasilkan berdasarkan hasil ijtihad para penguasa yang telah memenuhi syarat, baik sebagai mujtahid maupun mufti atau qadhi.
Ijtihad yang terakhir (poin 2) adalah bentuk ijtihad yang dilaksanakan oleh pemerintah yang merupakan kebijaksanaan untuk mencapai kemashlahatan umat (mashlahah al-mursalah). Dalam mengemukakan hasil-hasil ijtihad yang dituangkan dalam bentuk fatwa keagamaan yang valid diperlukan adanya metode pendekatan yang paling mengena. Dalam hal pembentukan hukum melalui ijtihad dengan cara mengkaji unsur-unsur illat yang terdapat dalam hukum Islam. Dengan mempelajari illat hukum Islam secara mendetail akan dapat diketahui secara tepat tentang rahasia-rahasia yang terkandung dalam ajaran Al-Quran dan Al-Hadis. Ijtihad itu juga akan memberikan sinyal secara konkret tentang adanya sebab-sebab dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam hukum Islam.[24]
Selanjutnya jika melihat posisi fatwa dalam kerangka hukum nasional, maka perlu melihat posisi lembaga fatwa dalam kerangka kelembagaan di pemerintahan. Hal ini dikarenakan, kekuatan mengikat produk hukum yang dikeluarkan oleh satu lembaga akan dipengaruhi oleh posisi lembaga tersebut dalam tata pemerintahan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) misalnya, dalam ketatanegaraan Indonesia sebenarnya berada dalam elemen infra struktur ketatanegaraan, dalam arti lebih berada di ruang-ruang pemberdayaan masyarakat, sebab MUI adalah organisasi alim ulama yang mempunyai tugas dan fungsi untuk pemberdayaan masyarakat atau umat Islam, artinya MUI adalah organisasi yang ada dalam masyarakat, dan bukan merupakan institusi milik negara atau memepersentasikan negara. Oleh karenanya Fatwa MUI dalam kerangka hukum Nasional, fatwa tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akan tetapi fatwa tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat apabila fatwa tersebut diperkuat dengan instrumen-intrumen negara yang mempunyai alat legitimasi, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, atau sejenisnya.[25]
Nampaknya di sinilah letak kedudukan strategis dari negara dalam pandangan Islam. Dalam sebuah negara Islam, fatwa adalah merupakan produk hukum yang mengikat apabila diadopsi oleh pemerintah. Jadi mengikat atau tidaknya sebuah fatwa jika dilihat dari kerangka hukum nasional sangat bergantung apakah fatwa tersebut termasuk produk hukum yang diadopsi negara atau tidak.[26]



[1] Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan dalam Fiqih Islam, (Jakarta : PT Bumi Aksara. 2006), hlm. 7.
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : PT Hidakarya Agung. 1990), cet. ke-8, hlm. 308.
[3] Muhammad Abû Zahrah, Târîkh al-Mazdâhib al-Islâmiyyah fi al-Siyâsah wa al-Aqâ’id wa Târîkh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah, (Cairo: Dar al-Fikr. 1989), hlm.16
[4] Badri Khaeruman, Hukum Islam dalam Perubahan Sosial, Bandung: Pustaka Setia, 2010., hlm. 104.
[5] Amir syarifuddin, Ushûl Fiqh, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu. 2005), cet. ke-2, hlm. 429.
[6] Khaeruman, Hukum, hlm. 104.
[7] Ibid., hlm. 105.
[8] Aunur Rohim Faqih, Budi Agus Riswandi dan Shabhi Mahmashani, HKI, Hukum Islam dan Fatwa MUI, (Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010), cet. ke-1, hlm. 29.
[9] Khaeruman, Hukum, hlm. 105-106.
[10] Ibid.
[11] Syarifuddin, Ushul, hlm. 429-430.
[12] Khaeruman, Hukum, hlm. 59.
[13] Syarifuddin, Ushul, hlm. 431.
[14] Ibid.
[15] Khaeruman, Hukum, hlm. 111-112.
[16] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr. 1994), Juz. 11, hlm. 34.
[17] Yusuf Al-Qardhawi, Al-Fatwâ Baina al-Indhibâth wa al-Tasayyub, terj. As’ad Yasin, Fatwa Antara Ketelitian dan Kecerobohan(Jakarta : Gema Insani Press. 1997), cet. ke-1, hlm. 13.
[18] Khaeruman, Hukum, hlm. 112.
[19] Al-Qardhawi, Al-Fatwâ, hlm.  14.
[20] Khaeruman, Hukum, hlm. 112.
[21] Fatah, Analisis, hlm. 27.
[22] Ibid., hlm. 27-28.
[23] Aunur Rohim Faqih, HKI, Hukum Islam dan Fatwa MUI, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
[24] Khaeruman, Hukum, hlm. 112-113.
[25] Faqih, HKI, hlm. 33-34.
[26]Ibid.



Posting Komentar

0 Komentar