Ticker

10/recent/ticker-posts

FATWA DALAM PERSFEKTIF YUSUF AL-QARDHAWI



       Fatwa menurut Al-Qardhawi berarti jawaban mengenai suatu kejadian peristiwa, yang merupakan bentukan sebagaimana dikatakan oleh Zamakhsyari dalam al-Kasyâf dari kata al-fatâ (pemuda) dalam usianya, dan sebagai kata kiasan (metafora) atau (isti’ârah). Sedangkan pengertian fatwa menurut syara’ ialah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, baik perseorangan  maupun kolektif.[1]
Fatwa merupakan salah satu metode dalam Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah Al-Muthahharah dalam menerangkan atau menjelaskan hukum-hukum syara’, ajaran-ajarannya, dan arahannya. Kadang-kadang penjelasan itu diberikan tanpa adanya pertanyaan atau perintah fatwa, dan cara inilah yang dominan terdapat dalam Al-Qur’an, baik mengenai persoalan hukum maupun nasihat dan pengajaran.
Namun demikian, terkadang penjelasan itu datang setelah adanya pertanyaan dan permintaan fatwa terlebih dahulu, dengan menggunakan perkataan yasalûnaka (mereka bertanya kepadamu), dan bentuk perkataan seperti ini paling banyak terdapat di dalam Al-Qur’an di antara bentuk-bentuk pertanyaan lainnya, seperti firman Allah:Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji....” (Q.S. al-Baqarah: 189). “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya ....” (Q.S. al-Baqarah: 219).
Ada kalanya juga menggunakan ungkapan yastaftûnaka (mereka meminta fatwa kepadamu), seperti firman Allah: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah ....” (Q.S. an-Nisa: 176). Ada pula ayat-ayat yang diturunkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan tanpa menggunakan perkataan yasalunaka atau yastaftunaka yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi bahwa seorang laki-laki pernah berkata kepada Rasulullah saw.: “Sesungguhnya apabila aku makan daging maka bangkitlah syahwatku terhadap wanita, karena itu kuharamkan diriku memakan daging”. Lalu Allah menurunkan Q.S al-Maidah: 87-88: “...Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah engkau melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah rezekikan kepadamu...”.
Sementara itu, di dalam As-Sunnah ada kalanya Rasulullah saw. menerangkan hukum suatu masalah secara langsung tanpa didahului pertanyaan dari seseorang. Biasanya hal seperti ini beliau lakukan untuk menghilangkan kesalahpahaman, untuk membetulkan pengertian, mengajarkan kepada yang tidak tahu, memantapkan hati orang yang sedang menuntut ilmu, untuk mengkhususkan yang umum atau memberi qayid (ketetapan) bagi yang mutlak (tidak terikat), sebagai penjelasan Nabi Saw. terhadap Al-Kitâb Al-Azîz (Al-Qur'an), atau untuk tujuan lainnya.[2]
Ada kalanya juga sebagai jawaban bagi suatu pertanyaan, dan yang demikian ini banyak sekali jumlahnya. Misalnya, pertanyaan Abu Musail Asy’ari: “Wahai Rasulullah, berilah fatwa kepada kami tentang minuman yang kami buat di Yaman yang disebut al-biq’u, yang berasal dari madu yang dijadikan minuman keras, dan al-mizru yang terbuat dari jagung dan gandum hingga menjadi minuman keras”. Maka beliau menjawab: “Semua yang memabukkan (menghilangkan kesadaran akal) adalah haram” (H.R. Muttafaq ‘Alaih). Selanjutnya Thariq bin Said pernah bertanya kepada beliau tentang khamar, lalu beliau melarangnya membuat khamar. Namun, Thariq berkata, “Aku membuatnya hanya untuk obat”. Maka beliau bersabda: Sesungguhnya khamar (minuman keras) itu bukan obat, melainkan penyakit” (H.R. Muslim).
Demikianlah Fawa-fatwa Rasulullah saw. terhadap para penanya dalam sebagian besar persoalan syariat dan berbagai persoalan hidup sangatlah luas, banyak, beraneka ragam, yang tidak akan menimbulkan keraguan bagi orang yang mau mengkaji sunnah beliau.[3]
Dalam perkembangannya, fatwa memang mengalami pergeseran makna. Pada zaman Nabi Saw. Seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan Sunnah lebih bersifat umum, yaitu berupa penjelasan. Kemudian setelah Nabi wafat pun tradisi fatwa ini diikuti oleh para sahabat. Namun fatwa yang berkembang belakangan ini nampaknya berbeda, tepatnya pada zaman kemunduran fiqih Islam. Fatwa sahabat merupakan ijtihad mereka, yang kemudian dikenal dengan Mazhab Sahabat (mazhab Shahâbî). Pada zaman imam mujtahid dan seterusnya, fatwa yang mereka berikan juga memiliki kesamaan, yaitu sama-sama merupakan hasil ijtihad, sehingga lahirlah banyak fatwa dalam hal yang sama. Hal inilah yang menunjukkan bahwa fatwa bersifat fleksibel dan dinamis.[4]
Al-Qardhawi termasuk tokoh yang berpendapat bahwa fatwa bersifat fleksibel. Menurutnya fatwa akan mengalami perubahan seriring dengan perubahan waktu dan zaman. Dalam memperkuat argumennya tentang perubahan fatwa tersebut, Al-Qardhawi memberikan tiga alasan. Pertama, alasan teologis. Kedua, alasan watak atau karakter dari syariat Islam yang bersifat elastis dan dinamis. Ketiga, alasan historis dari pengalaman sahabat nabi, terutama fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Umar bin Khatab.[5] 
Kaitannya dengan alasan yang pertama, yaitu alasan teologis. Dalam kitab al-Madkhal Li al-Dirâsah Al-Islâmiyyah, Al-Qardhawi menyatakan; jika mengkaji al-Qur’an secara serius akan mendapatkan landasan dalam masalah ini dalam al-Qur’an, yaitu beberapa ayat yang digolongkan oleh mufasir sebagai ayat nasîkh dan mansûkh. Namun sebenarnya itu bukan nasikh mansukh. Setiap ayat turun dalam situasi tertentu. Terkadang salah satu diantara ayat yang dianggap nasikh mansukh turun sebagai hukum asal (‘azimah), sedangkan yang satu sebagai keringanan (rukhsah); atau yang satu bersifat keharusan atau wajib, sedangkan yang lainnya hanya sebatas sunnah dan anjuran. Terkadang salah satunya diturunkan untuk kondisi lemah, sedangkan yang lainnya untuk kondisi kuat dan seterusnya. [6]
Selain itu Al-Qardhawi juga menyatakan bahwa perubahan fatwa juga terjadi karena watak dan karakteristik fiqih Islam yang luwes dan dinamis. Alasan keluwesan hukum Islam ini menurutnya disebabkan karena beberapa faktor, yaitu faktor luasnya peluang ijtihad, faktor nash-nash hukum yang global, faktor pemahaman teks yang berbeda, faktor situasi darurat, berhalangan dan situasi-situasi khusus, dan terakhir faktor fleksibelitas fatwa.[7]
Berkaitan dengan faktor luasnya peluang ijtihad. Menurut Al-Qardhawi indikator yang akan ditemukan oleh pengkaji syari’at dan fiqih Islam adanya kelonggaran (al-Afw) atau wilayah yang sengaja tidak dijamah oleh nash atau teks. Wilayah ini diisi oleh ijtihad mujtahid, sesuai masa dan kondisinya. Namun prinsip-prinsip umum dan petunjuk teks-teks yang muhkam (jelas) harus tetap diperhatikan. Oleh karenanya, banyak cara yang telah dilakukan oleh ahli fiqih untuk mengisi ruang ini, tetapi tidak membuat syari’at menjadi sempit. Selama dilakukan secara proporsional dan memenuhi persyaratan. Cara-cara tersebut antara lain dengan menggunakan qiyas, istihsan, istishlah, urf (tradisi) dan sebagainya.[8]
Selain faktor tersebut, faktor lainya ialah karena sebagian besar nash-nash hukum yang diturunkan ialah dalam bentuk global dan bersifat umum. Nash-nash hukum tersebut tidak menjelaskan hukum dan tata caranya secara terperinci, kecuali untuk masalah-masalah yang sifatnya baku dan tidak akan berubah, sekalipun tempat dan waktu berubah, seperti masalah-masalah ibadah, pernikahan, perceraian, waris atau urusan keluarga lainnya. Dalam masalah ibadah nampaknya syari’at memberikan penjelasan secara terperinci untuk menghindari terjadinya bid’ah dan perubahan, sedangkan dalam masalah keluarga untuk menghindari pertengkaran dan suap-menyuap dalam menyelesaikan kasus pihak-pihak yang bertengkar. Kedua masalah tersebut merupakan masalah yang penting dalam kehidupan manusia. Adapun masalah-masalah yang berubah mengikuti perubahan waktu, tempat, kondisi, dan tradisi bisanya syari’at mengaturnya secara umum dan fleksibel. Hal demikian dimaksudkan agar tidak membuat manusia merasa sempit ketika dihadapkan pada saat situasi atau kondisi tertentu, tetapi tidak pada yang lain.
Sebagian besar teks yang menjelaskan hukum, baik yang bersifat parsial maupun terperinci juga nampaknya diungkapkan dalam bahasa yang memberi peluang munculnya pemahaman dan penafsiran. Hal ini sebagaimana juga dua faktor keluasan syari’at, yakni luasnya peluang ijtihad dan keglobalan nash-nash hukum, juga memberi kontribusi bagi lahirnya berbagai macam mazhab dan kecenderungan dalam fiqih Islam. Oleh karenanya tidak heran jika kemudian bermunculan berbagai kecenderungan dalam fiqih seperti Ibnu Umar yang ketat, fiqih Ibnu Abbas yang longgar, fiqih qiyasi Abu Hanifah, fiqh atsari Imam Ahmad dan fiqih zhahiri Imam dawud. Kemudian juga lahirnya mazhab al-ra’y (rasional), mazhab al-hadits wa al-atsâr (tekstual). Juga munculnya aliran tekstual (ahl al-fâzh wa al-zhawâhir), aliran kontekstual (al-ma’ânî wa al-Maqâsid), dan aliran yang mengambil jalan tengah di antara kedua aliran tersebut.[9]
Faktor selanjutnya mengenai perubahan fatwa ialah karena mempertimbangkan situasi darurat, berhalangan dan situasi khusus. Faktor yang memperlihatkan keluasan dan syari’at Islam juga terjadi ketika kesulitan, kebutuhan dan halangan-halangan yang terjadi pada manusia. Syariat secara cermat mempertimbangkan situasi tersebut, kemudian menetapkan ketentuan-ketentuan yang sesuai, karena secara umum, syari’at bemaksud memberikan kemudahan bagi manusia dan menghilangkan kesulitan yang dibebankan oleh syari’at terdahulu. Oleh karena itu dirumuskan sebuah kaidah; kesulitan menyebabkan kemudahan (al-masyaqqah tajlib at-taisîr). Berdasarkan kaidah ini muncul berbagai macam keringanan, seperti keadaan orang sakit, dalam perjalanan, dan memiliki banyak halangan. Selain itu, untuk melengkapi pengecualian dari yang diharamkan dan dilarang, syari’at menetapkan ketentuan mengenai keadaan manusia dan menyulitkannya. Untuk itu dirumuskannya kaidah (al-Dharûrât tubih al-Mahzhûrât). Juga kaidah-kaidah turunannya antara lain; yang diperbolehkan dalam keadaan darurat disesuaikan dengan kualitas daruratnya (ma ubîha li al-dharûrah yuqaddaru biqadarihâ), kebutuhan dapat menempati posisi darurat, baik secara khusus maupun umum (al-hâjah tanzil manzilah al-dharûrah khâshatan kanat au âmmatan).[10]
Faktor terakhir ialah faktor flseksibelitas fatwa. Faktor ini adalah faktor terakhir yang menyempurnakan faktor-faktor sebelumnya. Berdasarkan hal ini maka dapat diketahui bahwa tujuan syari’at adalah untuk memelihara kemaslahatan, menegakkan keadilan, serta menghindarkan kezaliman dan kehancuran. Prinsip ini menurut Al-Qardhawi mesti dijadikan pegangan ketika melakukan interpretasi terhadap nash-nash dan merealisasikan hukum. Dalam memberikan fatwa, memberikan pelajaran, dan membuat undang-undang seorang ahli fiqih tidak mesti terpaku pada satu keputusan saja, karena situasi zaman, tempat, adat, dan lingkungan telah berubah. Semestinya yang mesti tetap dipegangnya dalam memberikan keputusan hukum adalah tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran syari’at secara umum.[11]
Kemudian, alasan selanjutnya berkaitan dengan perubahan fatwa menurut Al-Qardhawi dilatarbelakangi oleh perubahan-perubahan fatwa yang terjadi pada masa sahabat Nabi. Pada masa Umar bin Khatab misalnya, sebagai reaksi terhadap perubahan dan perkembangan masyarakat Umar menghentikan hak muallaf dalam menerima bagian zakat dan subsidi lainnya, tidak menerapkan eksekusi potong tangan terhadap tindakan pencurian dan lain sebagainya.
Berdasarkan argumen tersebut jelaslah bahwa fatwa sudah seharusnya mengalami perubahan seiring dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Baik perubahan itu dikarenakan faktor perubahan zaman, tempat, keadaan, niat, maupun faktor kebiasaan. Bahkan lebih dari itu, Al-Qardhawi menambahkannya dengan beberapa faktor, diantaranya yaitu faktor pengetahuan, kebutuhan manusia, faktor kemampuan manusia, faktor sosial-ekonomi-politik, faktor perubahan pendapat atau pemikiran, dan faktor ujian atau cobaan (musibah).
Namun bukan berarti seluruh fatwa mengenai hukum syari’at harus harus berubah dan disesuaikan dengan zaman, tempat, tradisi dan lain sebagainya. Diantara hukum-hukum syariat adapula yang berlaku umum, baku, tetap (tsabât) dan tidak berubah sekalipun situasi kondisi berubah.[12] Dalam syari’at ada yang bersifat permanen atau tetap (tsabât) dan ada pula yang berubah atau fleksibel (mutaghayyirât). Dalam syari’at ada hal-hal yang disepakati umat yang diputuskan dengan satu pendapat. Selain itu, syari’at juga mengandung hal yang diperselisihkan oleh berbagai mazhab sehingga memunculkan banyak pendapat (multi interpretasi). Dalam Syari’at terdapat hal-hal pokok ibadah, interaksi, larangan, dan akhlak yang tidak ada keraguan serta tidak diperselisihkan. Namun, dalam syari’at pun ada hal-hal cabang agama (furu’) yang menjadi objek perbedaan ulama. Para ulama berkata, “perbedaan ulama adalah rahmat yang luas dan kesepakatan mereka adalah argumentasi yang pasti”.[13]
            Tsabât dengan jelas kita dapatkan dalam sumber hukum yang utama dan intiqa’î dalam syari’at, yakni dalam al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya adalah hukum yang terpelihara. Dan tidak ada seorang pun dari para ulama mampu berpaling darinya. Tsabât ini juga akan dijumpai dalam kelima kaidah asasi, yakni iman kepada Allah, malaikat, para rasul, kitab-kitab, dan pada hari akhir. Selain itu, tsabât juga terdapat dalam rukun-rukun operasional yang lima, yakni sahadatain, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan ramadhan dan berhaji ke baitullah. Juga terdapat dalam perkara-perkara yang diharamkan secara intiqa’î seperti sihir, membunuh, zina, makan riba, makan anak yatim, menuduh orang berzina, lari dari medan perang, mencuri, gibah, mengadu domba dan sebagainya. Hal itu dijelaskan secara intiqa’î, baik dalam al-Qur’an maupun hadis.[14]
Sementara keluwesan (flesksibelitas) tampak jelas dalam sumber hukum yang bersifat ijtihadi. Dimana para faqih berbeda pendapat berhujjah dengannya antara yang luas dan sempit atau sedikit dan banyak. Contoh dalam masalah ini adalah ijmâ’, qiyâs, istihsân (sesuatu yang dianggap baik dengan dasar yang lain yang mempunyai kesamaan esensi), masalahah al-mursalah (berkenaan dengan maslahat dalam penentuan hukum), ucapan sahabat, syariat sebelum kita, dan lain sebagainya dalam bermacam-macam sumber ijtihad dan jalan beristinbath. 
Dalam hal tsâbat dan keluwesen tersebut menurut Al-Qardhawi dapat diberikan batasan sebagai berikut; tsâbat dalam sasaran dan tujuan, sementara luwes dalam hal sarana dan uslub (cara atau teknik). Tsâbat dalam hal kaidah-kaidah fundamental (pokok), sementara luwes dalam furû’ dan masalah-masalah juz’iyyât (bagian-bagian kecil). Tsâbat dalam hal nilai-nilai agama (dîn) dan akhlak, sementara luwes dalam hal-hal keduniaan dan ilmu.[15]



[1]Yusuf Al-Qardhawi, Al-Fatwâ Baina al-Indhibâth wa al-Tasayyub, terj. As’ad Yasin, Fatwa Antara Ketelitian dan Kecerobohan(Jakarta : Gema Insani Press. 1997), cet. ke-1, hlm. 13.  
[2]Ibid., hlm. 6-7.
[3]Ibid., hlm. 8-9.
[4]Aunur Rahim Faqih, HKI, Hukum Islam dan Fatwa MUI, hlm. 31.
[5]Badri Khaeruman, Hukum Islam dalam Perubahan Sosial, (Bandung: Pustaka Setia, 2010)hlm. 125.
[6]Yusuf Al-Qardhawi, Al-Madkhâl li Al-Dirâsah al-Syarî’ah al-Islâmiyah, (Kairo : Maktabah Wahbah. 2001), hlm. 202-203.
[7]Yusuf Al-Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam, (Bandung : Arasy Mizan. 2003), cet. ke-1, hlm. 165.
[8]Al-Ijtihâd fî Asy-Syarî’ah al-Islâmiyah, terj. Achamad Syathori , Ijtihad dalam Syari’at Islam; Beberapa Pandangan Analitis tentang ijtihad kontemporer, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987)hlm. 30.
[9]Al-Qardhawi, Al-Madkhâl, hlm. 194-195.
[10]Membumikan Syari’at Islam; Keluwesan Aturan Ilahi Untuk Manusia, Bandung: Arasy Mizan, 2003.
,  hlm. 208-209. 
[11]Ibid., hlm. 214-215.
[12]Al-Qardhawi, Al-Madkhâlhlm. 216.
[13]Mujîba al-Taghayyur Fatwâ fî Ashrinâ, terj. Arif Munandar Riswanto, Faktor-faktor  Pengubah Fatwa, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009)hlm. 31-32.
[14]Yusuf Al-Qardhawi, Al-Khashâish al-Âmmah li Al-Islâm, terj. Rofi Munawar dan Tajuddin, Karakter Islam; Kajian Analitik, (Surabaya: Risalah Gusti. 2000), hlm. 245-246.
[15]Ibid., hlm. 242.

Posting Komentar

0 Komentar