Fatwa
menurut Al-Qardhawi berarti jawaban mengenai suatu kejadian peristiwa, yang
merupakan bentukan sebagaimana dikatakan oleh Zamakhsyari dalam al-Kasyâf dari
kata al-fatâ (pemuda) dalam usianya, dan sebagai kata kiasan
(metafora) atau (isti’ârah). Sedangkan pengertian fatwa menurut syara’
ialah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu
pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, baik
perseorangan maupun kolektif.[1]
Fatwa
merupakan salah satu metode dalam Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah Al-Muthahharah dalam
menerangkan atau menjelaskan hukum-hukum syara’, ajaran-ajarannya, dan
arahannya. Kadang-kadang penjelasan itu diberikan tanpa adanya pertanyaan atau
perintah fatwa, dan cara inilah yang dominan terdapat dalam Al-Qur’an, baik mengenai
persoalan hukum maupun nasihat dan pengajaran.
Namun
demikian, terkadang penjelasan itu datang setelah adanya pertanyaan dan
permintaan fatwa terlebih dahulu, dengan menggunakan perkataan yasalûnaka (mereka
bertanya kepadamu), dan bentuk perkataan seperti ini paling banyak terdapat di
dalam Al-Qur’an di antara bentuk-bentuk pertanyaan lainnya, seperti firman
Allah:“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan
sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji....”
(Q.S. al-Baqarah: 189). “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya ....” (Q.S.
al-Baqarah: 219).
Ada kalanya
juga menggunakan ungkapan yastaftûnaka (mereka meminta fatwa
kepadamu), seperti firman Allah: “Mereka meminta fatwa kepadamu
(tentang kalalah). Katakanlah Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah ....” (Q.S.
an-Nisa: 176). Ada pula ayat-ayat yang diturunkan sebagai jawaban terhadap
pertanyaan tanpa menggunakan perkataan yasalunaka atau yastaftunaka yang
diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi bahwa seorang laki-laki pernah berkata kepada
Rasulullah saw.: “Sesungguhnya apabila aku makan daging maka bangkitlah syahwatku
terhadap wanita, karena itu kuharamkan diriku memakan daging”. Lalu Allah
menurunkan Q.S al-Maidah: 87-88: “...Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan
janganlah engkau melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang
telah Allah rezekikan kepadamu...”.
Sementara
itu, di dalam As-Sunnah ada kalanya Rasulullah saw. menerangkan hukum suatu
masalah secara langsung tanpa didahului pertanyaan dari seseorang. Biasanya hal
seperti ini beliau lakukan untuk menghilangkan kesalahpahaman, untuk
membetulkan pengertian, mengajarkan kepada yang tidak tahu, memantapkan hati
orang yang sedang menuntut ilmu, untuk mengkhususkan yang umum atau
memberi qayid (ketetapan) bagi yang mutlak (tidak terikat),
sebagai penjelasan Nabi Saw. terhadap Al-Kitâb Al-Azîz (Al-Qur'an),
atau untuk tujuan lainnya.[2]
Ada kalanya
juga sebagai jawaban bagi suatu pertanyaan, dan yang demikian ini banyak sekali
jumlahnya. Misalnya, pertanyaan Abu Musail Asy’ari: “Wahai Rasulullah, berilah
fatwa kepada kami tentang minuman yang kami buat di Yaman yang disebut al-biq’u,
yang berasal dari madu yang dijadikan minuman keras, dan al-mizru yang
terbuat dari jagung dan gandum hingga menjadi minuman keras”. Maka beliau
menjawab: “Semua yang memabukkan (menghilangkan kesadaran akal) adalah haram”
(H.R. Muttafaq ‘Alaih). Selanjutnya Thariq bin Said pernah bertanya kepada
beliau tentang khamar, lalu beliau melarangnya membuat khamar. Namun, Thariq
berkata, “Aku membuatnya hanya untuk obat”. Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya
khamar (minuman keras) itu bukan obat, melainkan penyakit” (H.R. Muslim).
Demikianlah
Fawa-fatwa Rasulullah saw. terhadap para penanya dalam sebagian besar persoalan
syariat dan berbagai persoalan hidup sangatlah luas, banyak, beraneka ragam,
yang tidak akan menimbulkan keraguan bagi orang yang mau mengkaji sunnah
beliau.[3]
Dalam
perkembangannya, fatwa memang mengalami pergeseran makna. Pada zaman Nabi Saw.
Seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan Sunnah lebih bersifat umum, yaitu
berupa penjelasan. Kemudian setelah Nabi wafat pun tradisi fatwa ini diikuti
oleh para sahabat. Namun fatwa yang berkembang belakangan ini nampaknya
berbeda, tepatnya pada zaman kemunduran fiqih Islam. Fatwa sahabat merupakan
ijtihad mereka, yang kemudian dikenal dengan Mazhab Sahabat (mazhab Shahâbî).
Pada zaman imam mujtahid dan seterusnya, fatwa yang mereka berikan juga
memiliki kesamaan, yaitu sama-sama merupakan hasil ijtihad, sehingga lahirlah
banyak fatwa dalam hal yang sama. Hal inilah yang menunjukkan bahwa fatwa
bersifat fleksibel dan dinamis.[4]
Al-Qardhawi
termasuk tokoh yang berpendapat bahwa fatwa bersifat fleksibel. Menurutnya fatwa
akan mengalami perubahan seriring dengan perubahan waktu dan zaman. Dalam
memperkuat argumennya tentang perubahan fatwa tersebut, Al-Qardhawi memberikan
tiga alasan. Pertama, alasan teologis. Kedua,
alasan watak atau karakter dari syariat Islam yang bersifat elastis dan
dinamis. Ketiga, alasan historis dari pengalaman sahabat nabi,
terutama fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Umar bin Khatab.[5]
Kaitannya
dengan alasan yang pertama, yaitu alasan teologis. Dalam kitab al-Madkhal
Li al-Dirâsah Al-Islâmiyyah, Al-Qardhawi menyatakan; jika
mengkaji al-Qur’an secara serius akan mendapatkan landasan dalam masalah ini
dalam al-Qur’an, yaitu beberapa ayat yang digolongkan oleh mufasir sebagai
ayat nasîkh dan mansûkh. Namun sebenarnya itu
bukan nasikh mansukh. Setiap ayat turun dalam situasi tertentu. Terkadang salah
satu diantara ayat yang dianggap nasikh mansukh turun sebagai hukum asal (‘azimah),
sedangkan yang satu sebagai keringanan (rukhsah); atau yang satu
bersifat keharusan atau wajib, sedangkan yang lainnya hanya sebatas sunnah dan
anjuran. Terkadang salah satunya diturunkan untuk kondisi lemah, sedangkan yang
lainnya untuk kondisi kuat dan seterusnya. [6]
Selain itu
Al-Qardhawi juga menyatakan bahwa perubahan fatwa juga terjadi karena watak dan
karakteristik fiqih Islam yang luwes dan dinamis. Alasan keluwesan hukum Islam
ini menurutnya disebabkan karena beberapa faktor, yaitu faktor luasnya peluang
ijtihad, faktor nash-nash hukum yang global, faktor pemahaman teks yang
berbeda, faktor situasi darurat, berhalangan dan situasi-situasi khusus, dan
terakhir faktor fleksibelitas fatwa.[7]
Berkaitan
dengan faktor luasnya peluang ijtihad. Menurut Al-Qardhawi indikator yang akan
ditemukan oleh pengkaji syari’at dan fiqih Islam adanya kelonggaran (al-Afw)
atau wilayah yang sengaja tidak dijamah oleh nash atau teks. Wilayah ini diisi
oleh ijtihad mujtahid, sesuai masa dan kondisinya. Namun prinsip-prinsip umum
dan petunjuk teks-teks yang muhkam (jelas) harus tetap
diperhatikan. Oleh karenanya, banyak cara yang telah dilakukan oleh ahli fiqih
untuk mengisi ruang ini, tetapi tidak membuat syari’at menjadi sempit. Selama
dilakukan secara proporsional dan memenuhi persyaratan. Cara-cara tersebut
antara lain dengan menggunakan qiyas, istihsan, istishlah, urf (tradisi)
dan sebagainya.[8]
Selain
faktor tersebut, faktor lainya ialah karena sebagian besar nash-nash hukum
yang diturunkan ialah dalam bentuk global dan bersifat umum. Nash-nash hukum
tersebut tidak menjelaskan hukum dan tata caranya secara terperinci, kecuali
untuk masalah-masalah yang sifatnya baku dan tidak akan berubah, sekalipun
tempat dan waktu berubah, seperti masalah-masalah ibadah, pernikahan,
perceraian, waris atau urusan keluarga lainnya. Dalam masalah ibadah nampaknya
syari’at memberikan penjelasan secara terperinci untuk menghindari terjadinya
bid’ah dan perubahan, sedangkan dalam masalah keluarga untuk menghindari
pertengkaran dan suap-menyuap dalam menyelesaikan kasus pihak-pihak yang
bertengkar. Kedua masalah tersebut merupakan masalah yang penting dalam kehidupan
manusia. Adapun masalah-masalah yang berubah mengikuti perubahan waktu, tempat,
kondisi, dan tradisi bisanya syari’at mengaturnya secara umum dan fleksibel.
Hal demikian dimaksudkan agar tidak membuat manusia merasa sempit ketika
dihadapkan pada saat situasi atau kondisi tertentu, tetapi tidak pada yang
lain.
Sebagian
besar teks yang menjelaskan hukum, baik yang bersifat parsial maupun terperinci
juga nampaknya diungkapkan dalam bahasa yang memberi peluang munculnya
pemahaman dan penafsiran. Hal ini sebagaimana juga dua faktor keluasan
syari’at, yakni luasnya peluang ijtihad dan keglobalan nash-nash hukum, juga
memberi kontribusi bagi lahirnya berbagai macam mazhab dan kecenderungan dalam
fiqih Islam. Oleh karenanya tidak heran jika kemudian bermunculan berbagai
kecenderungan dalam fiqih seperti Ibnu Umar yang ketat, fiqih Ibnu Abbas yang
longgar, fiqih qiyasi Abu Hanifah, fiqh atsari Imam Ahmad dan fiqih zhahiri
Imam dawud. Kemudian juga lahirnya mazhab al-ra’y (rasional),
mazhab al-hadits wa al-atsâr (tekstual). Juga munculnya aliran
tekstual (ahl al-fâzh wa al-zhawâhir), aliran kontekstual (al-ma’ânî
wa al-Maqâsid), dan aliran yang mengambil jalan tengah di antara kedua
aliran tersebut.[9]
Faktor
selanjutnya mengenai perubahan fatwa ialah karena mempertimbangkan situasi
darurat, berhalangan dan situasi khusus. Faktor yang memperlihatkan keluasan
dan syari’at Islam juga terjadi ketika kesulitan, kebutuhan dan
halangan-halangan yang terjadi pada manusia. Syariat secara cermat
mempertimbangkan situasi tersebut, kemudian menetapkan ketentuan-ketentuan yang
sesuai, karena secara umum, syari’at bemaksud memberikan kemudahan bagi manusia
dan menghilangkan kesulitan yang dibebankan oleh syari’at terdahulu. Oleh
karena itu dirumuskan sebuah kaidah; kesulitan menyebabkan kemudahan (al-masyaqqah
tajlib at-taisîr). Berdasarkan kaidah ini muncul berbagai macam keringanan,
seperti keadaan orang sakit, dalam perjalanan, dan memiliki banyak halangan.
Selain itu, untuk melengkapi pengecualian dari yang diharamkan dan dilarang,
syari’at menetapkan ketentuan mengenai keadaan manusia dan menyulitkannya.
Untuk itu dirumuskannya kaidah (al-Dharûrât tubih al-Mahzhûrât). Juga
kaidah-kaidah turunannya antara lain; yang diperbolehkan dalam keadaan darurat
disesuaikan dengan kualitas daruratnya (ma ubîha li al-dharûrah yuqaddaru
biqadarihâ), kebutuhan dapat menempati posisi darurat, baik secara khusus
maupun umum (al-hâjah tanzil manzilah al-dharûrah khâshatan kanat au âmmatan).[10]
Faktor
terakhir ialah faktor flseksibelitas fatwa. Faktor ini adalah faktor terakhir
yang menyempurnakan faktor-faktor sebelumnya. Berdasarkan hal ini maka dapat
diketahui bahwa tujuan syari’at adalah untuk memelihara kemaslahatan,
menegakkan keadilan, serta menghindarkan kezaliman dan kehancuran. Prinsip ini
menurut Al-Qardhawi mesti dijadikan pegangan ketika melakukan interpretasi
terhadap nash-nash dan merealisasikan hukum. Dalam memberikan fatwa, memberikan
pelajaran, dan membuat undang-undang seorang ahli fiqih tidak mesti terpaku
pada satu keputusan saja, karena situasi zaman, tempat, adat, dan lingkungan
telah berubah. Semestinya yang mesti tetap dipegangnya dalam memberikan
keputusan hukum adalah tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran syari’at secara
umum.[11]
Kemudian,
alasan selanjutnya berkaitan dengan perubahan fatwa
menurut Al-Qardhawi dilatarbelakangi oleh perubahan-perubahan fatwa
yang terjadi pada masa sahabat Nabi. Pada masa Umar bin Khatab misalnya,
sebagai reaksi terhadap perubahan dan perkembangan masyarakat Umar menghentikan
hak muallaf dalam menerima bagian zakat dan subsidi lainnya, tidak menerapkan
eksekusi potong tangan terhadap tindakan pencurian dan lain sebagainya.
Berdasarkan
argumen tersebut jelaslah bahwa fatwa sudah seharusnya mengalami perubahan
seiring dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Baik perubahan itu
dikarenakan faktor perubahan zaman,
tempat, keadaan, niat, maupun faktor kebiasaan. Bahkan lebih dari
itu, Al-Qardhawi menambahkannya dengan beberapa faktor, diantaranya
yaitu faktor pengetahuan, kebutuhan manusia, faktor kemampuan manusia, faktor
sosial-ekonomi-politik, faktor perubahan pendapat atau pemikiran, dan faktor
ujian atau cobaan (musibah).
Namun bukan
berarti seluruh fatwa mengenai hukum syari’at harus harus berubah dan
disesuaikan dengan zaman, tempat, tradisi dan lain sebagainya. Diantara
hukum-hukum syariat adapula yang berlaku umum, baku, tetap (tsabât) dan
tidak berubah sekalipun situasi kondisi berubah.[12] Dalam syari’at ada
yang bersifat permanen atau tetap (tsabât) dan ada pula yang berubah
atau fleksibel (mutaghayyirât). Dalam syari’at ada hal-hal yang
disepakati umat yang diputuskan dengan satu pendapat. Selain itu, syari’at juga
mengandung hal yang diperselisihkan oleh berbagai mazhab sehingga memunculkan
banyak pendapat (multi interpretasi). Dalam Syari’at terdapat hal-hal pokok
ibadah, interaksi, larangan, dan akhlak yang tidak ada keraguan serta tidak
diperselisihkan. Namun, dalam syari’at pun ada hal-hal cabang agama (furu’)
yang menjadi objek perbedaan ulama. Para ulama berkata, “perbedaan ulama adalah
rahmat yang luas dan kesepakatan mereka adalah argumentasi yang pasti”.[13]
Tsabât dengan
jelas kita dapatkan dalam sumber hukum yang utama dan intiqa’î dalam
syari’at, yakni dalam al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya adalah hukum yang terpelihara.
Dan tidak ada seorang pun dari para ulama mampu berpaling darinya. Tsabât ini
juga akan dijumpai dalam kelima kaidah asasi, yakni iman kepada Allah,
malaikat, para rasul, kitab-kitab, dan pada hari akhir. Selain itu, tsabât juga
terdapat dalam rukun-rukun operasional yang lima, yakni sahadatain,
menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan ramadhan dan berhaji ke
baitullah. Juga terdapat dalam perkara-perkara yang diharamkan secara intiqa’î seperti
sihir, membunuh, zina, makan riba, makan anak yatim, menuduh orang berzina,
lari dari medan perang, mencuri, gibah, mengadu domba dan sebagainya. Hal itu
dijelaskan secara intiqa’î, baik dalam al-Qur’an maupun hadis.[14]
Sementara
keluwesan (flesksibelitas) tampak jelas dalam sumber hukum yang bersifat
ijtihadi. Dimana para faqih berbeda pendapat berhujjah dengannya antara yang
luas dan sempit atau sedikit dan banyak. Contoh dalam masalah ini adalah ijmâ’,
qiyâs, istihsân (sesuatu yang dianggap baik dengan dasar yang lain
yang mempunyai kesamaan esensi), masalahah al-mursalah (berkenaan
dengan maslahat dalam penentuan hukum), ucapan sahabat, syariat sebelum kita,
dan lain sebagainya dalam bermacam-macam sumber ijtihad dan jalan
beristinbath.
Dalam
hal tsâbat dan keluwesen tersebut menurut Al-Qardhawi dapat
diberikan batasan sebagai berikut; tsâbat dalam sasaran dan
tujuan, sementara luwes dalam hal sarana dan uslub (cara atau teknik). Tsâbat dalam
hal kaidah-kaidah fundamental (pokok), sementara luwes dalam furû’ dan
masalah-masalah juz’iyyât (bagian-bagian kecil). Tsâbat dalam
hal nilai-nilai agama (dîn) dan akhlak, sementara luwes dalam hal-hal
keduniaan dan ilmu.[15]
[1]Yusuf Al-Qardhawi, Al-Fatwâ Baina
al-Indhibâth wa al-Tasayyub, terj. As’ad Yasin, Fatwa Antara
Ketelitian dan Kecerobohan, (Jakarta : Gema Insani Press. 1997), cet.
ke-1, hlm. 13.
[2]Ibid., hlm. 6-7.
[3]Ibid., hlm. 8-9.
[4]Aunur Rahim Faqih, HKI, Hukum
Islam dan Fatwa MUI, hlm. 31.
[5]Badri Khaeruman, Hukum Islam dalam
Perubahan Sosial, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 125.
[6]Yusuf Al-Qardhawi, Al-Madkhâl li
Al-Dirâsah al-Syarî’ah al-Islâmiyah, (Kairo : Maktabah Wahbah. 2001),
hlm. 202-203.
[7]Yusuf Al-Qardhawi, Membumikan Syari’at
Islam, (Bandung : Arasy Mizan. 2003), cet. ke-1, hlm. 165.
[8]Al-Ijtihâd fî
Asy-Syarî’ah al-Islâmiyah, terj. Achamad Syathori , Ijtihad
dalam Syari’at Islam; Beberapa Pandangan Analitis tentang ijtihad kontemporer,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 30.
[9]Al-Qardhawi, Al-Madkhâl, hlm. 194-195.
[10]Membumikan Syari’at Islam; Keluwesan
Aturan Ilahi Untuk Manusia, Bandung: Arasy Mizan, 2003.
, hlm. 208-209.
[11]Ibid., hlm. 214-215.
[12]Al-Qardhawi, Al-Madkhâl, hlm. 216.
[13]Mujîba
al-Taghayyur Fatwâ fî Ashrinâ, terj. Arif Munandar Riswanto, Faktor-faktor
Pengubah Fatwa, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009), hlm. 31-32.
[14]Yusuf Al-Qardhawi, Al-Khashâish al-Âmmah li Al-Islâm, terj.
Rofi Munawar dan Tajuddin, Karakter Islam; Kajian Analitik,
(Surabaya: Risalah Gusti. 2000), hlm. 245-246.
[15]Ibid., hlm. 242.
0 Komentar