Ticker

10/recent/ticker-posts

FAKTOR-FAKTOR PERUBAHAN FATWA



Faktor-faktor perubahan fatwa sebanarnya sudah dijelaskan oleh Ibnu Qayyim dalam kitabnya I’lam al-Muwaqi’in, yakni fatwa berubah seiring dengan perubahan waktu, tempat, kondisi dan tradisi.  Namun kaidah taghayyur al-fatwâ bihasbi at-taghayyur al-azminat wa al-amkinat wa al-ahwâl wa al-niyât wa al-awâ’id dalam pandangan Jaih Mubarak, faktor-faktor perubahan fatwa tersebut dapat diturunkan menjadi cakupannya lebih kecil. Antara lain sebagai berikut[1]:
Pertama, perubahan pendapat karena penemuan hadis. Dalam sejarah dicatat bahwa Madinah merupakan pusat hadis karena Nabi Saw. tinggal di Madinah dan sahabat banyak menerima dan meriwayatkan hadis di tempat ini. Sedangkan Irak merupakan kota yang jauh dari Madinah sehingga informasi mengenai hadis Nabi Saw. relatif terbatas; jumlah hadis yang beredar di kalangan ulama Irak tidak berbanding dengan jumlah hadis yang beredar dikalangan ulama Madinah. Perbedaan peredaran jumlah hadis di suatu kota turut serta berpengaruh terhadap pendapat ulama atau pakar fikih.
Salah satu contohnya adalah pendapat Abu Hanifah (80-150 H) tentang sifat akad wakaf. Menurutnya bahwa benda wakaf boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan. Argumentasi Abu Hanifah mengenai kebolehan penjualan benda wakaf ada dua: pertama, argumen rasional yang berupa qiyas, yakni Abu Hanifah mendifinisikan wakaf adalah harta benda milik orang yang mewakafkan, yang kemudian menyedekahkan manfaatnya seperti pinjaman. Dengan demikian Abu Hanifah mengartikan wakaf ini seperti ariyah (pinjaman).[2] Sementara  akad pinjam termasuk gayru lazimat (tidak tetap). Wakaf tersebut tidak menyebabkan pindahnya kepemilikan benda wakaf. Seperti wakaf untuk masjid, wakaf yang ditentukan oleh hukum, wakaf wasiat, dan wakaf untuk kuburan. Sehingga bendanya masih tetap milik pihak yang meminjamkan. Benda wakaf berubah menjadi waris ketika pihak yang mewakafkan telah meninggal dunia.[3] Kedua, argumentasi berupa hadis. Hadis yang dijadikan alasan oleh Abu Hanifah adalah:

عَنْ أَبِى عَوْنٍ عَنْ شُرَيْحٍ قَالَ : جَاءَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَيْعِ الْحُبْسِ.

“Dari Abi ‘Aun dari Syuraih, ia berkata, Nabi Muhammad Saw. telah menjual benda wakaf”.[4]

Pada awalnya, Abu Yusuf (penerus dan pengikut aliran Hanafi) sependapat dengan Abu Hanifah tentang kebolehan menjual benda wakaf. Ketika melakukan ibadah haji bersama Harun al-Rasyid (w.194 H/809 M), Abu Yusuf melihat benda-benda wakaf yang telah dilakukan oleh para shahabat Nabi Muhammad Saw. di Madinah. Di Kota Madinah, Abu Yusuf mendapatkan bahwa benda wakaf tidak diperbolehkan untuk dijual, dihibahkan, atau diwariskan. Sebagai seorang pakar fikih, ia mencoba menelusuri sebab-sebab benda wakaf tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak pula diwariskan. Akhirnya, sampai berita kepada Abu Yusuf tentang riwayat yang menyatakan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual dan dihibahkan. Riwayat tersebut adalah:

عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما قَالَ: أَصَابَ عُمَرُ بِخَيْبَرَ أَرْضًا فَأَتَى النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ أَنْفَسَ مِنْهُ، فَكَيْفَ تَأْمُرُنِى بِهِ قَالَ: إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا، وَتَصَدَّقْتَ بِهَا. فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ، فِى الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ، وَلاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ، أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ.

“Dari Nafi’ dan Ibn ‘Umar, ia berkata: ‘Umar ra. mempunyai sebidang tanah di Khaibar yang paling ia sukai, kemudian ia datang kepada Nabi Muhammad Saw. untuk meminta petunjuk mengenai penggunaan tanah tersebut, kemudian Nabi Saw. berkata: tahanlah pokoknya dan shadaqahkan hasilnya. Umar ra. Mensedekahkan tanah tersebut hingga ia tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Harta tersebut disedekahkan kepada orang-orang fakir, kerabat, hamba, para tamu, jalan Allah, dan orang yang sedang melakukan perjalanan; dan yang menguruskan dibolehkan mengkonsumsi hasil dari tanah tersebut tanpa berlebih-lebihan”.[5]

Abu Yusuf kemudian mengubah pendapatnya sehingga ia tidak sependapat lagi dengan gurunya (Abu Hanifah), dan kemudian ia berkata: “Kalau saja hadis ini sampai kepada Abu Hanifah rahimah Allah, beliau pasti akan mencabut pendapatnya”. Kata-kata yang diucapkan oleh Abu Yusuf tersebut merupakan preseden kuat yang menunjukkan bahwa riwayat atau hadis tersebut tidak sampai kepada Abu Hanifah, sebab tidak mungkin Abu Yusuf berkata demikian kalau hadis itu sudah sampai di tangan Abu Hanifah.
Kedua, perubahan hukum karena perbedaan keadaan kekayaan (harta) pelaku pelanggaran hukum. Dalam sejarah terdapat peristiwa menarik mengenai penerapan hukum (tathbîq al-ahkâm) yang dilakukan oleh salah seorang ulama, yaitu al-Laitsi.
Berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, sanksi bagi yang berjimak dengan isterinya pada siang hari bulan Ramadhan adalah memerdekakan hamba, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin. Hadis tersebut adalah:

عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ رَجُلاً أَفْطَرَ فِى رَمَضَانَ أَنْ يُعْتِقَ رَقَبَةً أَوْ يَصُومَ شَهْرَيْنِ أَوْ يُطْعِمَ سِتِّينَ مِسْكِينًا

“Dari Humid Ibn ‘Abd al-Rahman sesungguhnya Abu Hurairah memberitakan bahwa Nabi Saw. memerintahkan kepada seseorang yang batal puasa Ramadhan (karena jimak dengan isterinya) untuk memerdekakan hamba, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan kepada enam puluh orang miskin”.[6]

Hadis tersebut dipahami secara berbeda oleh ulama. Menurut Imam Malik, kata aw menunjukkan pilihan (al-takhyir), sedangkan jumhur ulama (di antaranya Imam al-Syafi’i) berpendapat bahwa kata aw menunjukan urutan (al-tartib). Pilihan yang dimaksud adalah bahwa tiga sanksi tersebut dapat dipilih salah satunya; sedangkan urutan adalah bahwa yang kedua boleh dilakukan apabila yang pertama tidak mampu dilaksanakan, dan ketentuan ketiga dapat dipilih apabila ketentuan pertama dan kedua tidak mampu dilakukan.  Pada awalnya, tidak ada cara pemahaman lain kecuali dua cara tersebut.
Salah seorang Gubernur Andalusia berjimak dengan salah seorang isterinya pada siang hari bulan Ramadhan. Ketika menyesali perbuatannya, ia ingin bertaubat. Ketika itu, ia mengumpulkan ulama dan meminta fatwa tentang sanksi yang harus ditempuhnya. Yahya Ibn Yahya al-Laitsi (w. 862 H.) berfatwa bahwa sanksi yang harus ditempuh oleh Gubernur adalah puasa dua bulan berturut-turut. Kemudian ulama lain bertanya kepada al-Laitsi tentang pendapatnya: “Mengapa Tuan tidak menggunakan pendapat Imam Malik atau pendapat jumhur ulama?” Al-Laitsi menjawab: “Kalau peluang itu aku bukakan untuknya, pasti dia akan dengan mudah melakukan persetubuhan lagi dengan isterinya pada siang hari bulan Ramadhan dan ia (dengan mudah) dapat memerdekakan hamba; tetapi aku memberinya sanksi yang paling sulit baginya”.
Penjelasan al-Laitsi di atas mengenai sanksi yang ia tetapkan pada salah seorang Gubernur Andalusia yang berjimak dengan salah seorang isterinya pada siang hari bulan Ramadhan, menunjukkan bahwa ia menetapkan demikian karena pelanggaran dilakukan oleh Gubernur yang secara ekonomi berkecukupan sehingga tidak sulit untuk memerdekakan hamba atau memberi makan kepada enam puluh orang miskin. Oleh karena itu, pandangan tersirat dari al-Laitsi adalah bahwa al-takhyir dan al-tartib masih dapat diberlakukan terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran Ramadhan yang secara ekonomi tidak sepadan (sebanding) dengan kekayaan yang dimiliki Gubernur yang melakukan pelanggaran.
Ketiga, perubahan pendapat karena perubahan logika (argumentasi logis). Salah seorang ulama besar di bidang fikih adalah Imam al-Syafi’i (150-204 H.). Dalam sejarah, ia terkenal sebagai ulama yang memiliki dua pendapat (qaul), yaitu pendapat lama (qaul qadîm) dan pendapat baru (qaul jadîd). Salah satu pendapatnya adalah kewajiban pembayaran mahar (mas kawin) dalam perkawinan. Menurut Imam Syafi’i diwajibkannya mahar itu sebab adanya akad, meskipun mahar tersebut belum ditentukan dan suami belum mencampuri istrinya.[7] Imam Syafi’i, berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar.[8]
Pada dasarnya, yang wajib membayar mahar dalam akad perkawinan adalah suami. Akan tetapi, terkadang terjadi pula perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki yang belum memiliki harta dan belum bekerja sehingga tidak memiliki uang untuk membayar mahar. Ketika anak laki-laki (yang belum memiliki harta dan juga belum bekerja) dikawinkan oleh orang tuanya dengan seorang perempuan, siapakah yang wajib membayar mahar.
 Dalam qaul qadîm, Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang harus membayar mahar adalah orang tuanya; karena orang tuanya mengetahui bahwa anaknya tidak mampu membayar mahar ketika menikah. Sedangkan dalam qaul jadîd, Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang wajib membayar mahar adalah laki-laki yang menikah (bukan bapaknya); karena yang berhak melakukan persetubuhan adalah dirinya, oleh karena itu, mahar menjadi tanggungjawabnya.  Pendapat Imam al-Syafi’i tentang pihak yang wajib membayar mahar atas perkawinan anak kecil, baik dalam pendapat lama maupun dalam pendapat baru, tidak menggunakan hadis sebagai alasan, tetapi logika. Akan tetapi, logika fikihnya mengalami perubahan.
Keempat, perubahan pendapat karena perbedaan dalam memahami kitab suci Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an, poligini dibolehkan. Akan tetapi, karena pengaruh interaksi sosial dengan Perancis, Tunis memberlakukan undang-undang yang disebut The Tunisian Code of Personal Status yang mengatur perkawinan dan kewarisan. Pada pasal 18 undang-undang tersebut ditetapkan bahwa beristeri lebih dari satu orang tidak diperbolehkan; dan pihak yang melakukan pelanggaran diancam dengan sanksi pidana, yaitu penjara selama satu tahun dan atau denda sebesar 240.000 frank. Alasan yang dikemukakan oleh ulama Tunis adalah bahwa syarat melukukan poligini adalah bahwa suami mesti berlaku adil; sedangkan keadilan yang sempurna tidak akan pernah terwujud. Oleh karena itu, jiwa Alquran -jelas ulama Tunis- sebenarnya melarang poligini. Pemahaman Al-Qur’an yang membuat ulama Tunis berbeda pendapat dengan ulama lain dari negara-negara Islam sehingga gagasannya mendapat reaksi yang cukup banyak.
Kelima, perubahan pendapat (ketentuan) karena perpindahan madzhab atau aliran fikih. Salah satu contohnya adalah India. Pada tahun 1937 di India diberlakukan sebuah undang-undang yang disebut The Muslim Personal IMW (Syarikat) Aplication Act yang isinya mengatur perkawinan, perceraian, warisan, dan wakaf bagi orang-orang Islam.
Dalam undang-undang itu dinyatakan bahwa perceraian bagi orang Islam diatur menurut madzhab Hanafi karena sebagian besar umat Islam India menganut madzhab Hanafi, dan perceraiannya hanya sah kalau diputuskan oleh pengadilan. Karena aturan tentang hak minta cerai bagi wanita dalam madzhab Hanafi amat sulit dan bahkan tidak ada, Undang-undang tersebut secara praktis telah melarang sama sekali terjadinya perceraian yang diprakarsai oleh pihak wanita. Salah satu akibatnya adalah apabila seorang wanita ingin dicerai oleh suaminya menggunakan jalan pintas, yaitu ia (isteri) menyatakan diri keluar dari Islam sehingga perkawinannya menjadi bubar dengan sendirinya karena fasakh. Jika perkawinan itu bubar, praktis perceraian pun telah terjadi.
Melihat gejala yang kurang baik tersebut karena banyaknya wanita Muslimah yang keluar dari Islam hanya karena ingin cerai dari suami, pada tahun 1939 dengan dipelopori oleh Asyraf Ali Tsanawi, diberlakukan undang-undang yang disebut The Dissolution of Marriages Act yang antara lain mengatur bahwa prosedur perceraian tidak lagi menggunakan madzhab Hanafi yang menyulitkan, tetapi pindah kepada madzhab Maliki yang dapat memberi kesempatan kepada perempuan untuk meminta cerai kepada pengadilan. Demikian India yang telah mengubah produk pemikiran hukumnya dari madzhab Hanafi kepada madzhab Maliki dalam hal hak permintaan cerai oleh isteri, karena ekses-ekses sosial yang dialaminya.  Demikian beberapa kaidah turunan dari kaidah tentang perubahan.
Dalam pandangan Al-Qardhawi, faktor-faktor yang melatarbelakangi perubahan fatwa berkisar tiga faktor yang melandasinya, yakni, perubahan kemaslahatan, perubahan adat dan kondisi, dan perubahan waktu. Al-Qardhawi meramu tiga faktor ini berdasarkan berbagai pandangan ulama ushul fiqh, seperti Ibnu Qayyim, Imam Al-Qurafi, dan Ibnu Abidin.[9]
Pertama, perubahan fatwa karena perubahan kemaslahatan. Hal ini disebabkan bahwa kemaslahatan itu menurut Al-Qardhawi terdiri atas dua jenis, yakni kemaslahatan yang bersifat absolut atau abadi yang tidak mengalami perubahan dan kemaslahatan temporal yang bisa berubah menurut perubahan waktu dan keadaan. Maka konsekuensinya ada perubahan hukum yang menyertainya karena dalam menetapkan hukum dilandaskan beredar dan berputarnya sebuah illat.[10]
Sebagai contoh kemaslahatan temporal yang bisa berubah, Al-Qardhawi berpandangan ketentuan pemberlakuan Ahl-Dzimmah dalam sebagian kitab fiqh klasik yang mengharuskan mereka mengenakan pakaian yang berbeda dengan pakaian yang dikenakan orang-orang Muslim karena mengikuti fatwa Umar bin Khathab atau Umar bin Abdul Azis yang menyatakan, “Karena mereka bercampur dengan orang-orang Muslim, mereka harus dibedakan dengan kita, agar mereka tidak diperlakukan seperti perlakuan orang-orang Muslim karena bisa saja ada di antara mereka yang meninggal di jalan dengan tidak diketahui identitasnya, lalu dia dishalati dan dikuburkan di area kuburan Muslimin dan tentu saja ini tidak diridai dan diperkenankan oleh orang-orang Muslim”.[11]
Menurut Al-Qardhawi, sikap membedakan di atas dipandang perlu dan maslahat pada awal masa-masa penaklukan Islam karena untuk kehati-hatian. Namun, apabila masih diterapkan pada masa sekarang, yaitu kemaslahatan membedakan identitas agama seseorang dengan pakaian agak sulit diterima oleh masyarakat. Kemaslahatan dalam hal ini, dengan adanya identitas kartu tanda penduduk seseorang di mana dicantumkan nama, wilayah, dan agamanya ini lebih efektif dan maslahat.[12]
Kedua, perubahan fatwa karena perubahan keadaan dan adat. Dalam hal ini Al-Qardhawi mengambil pandangan Ibnu Qayyim dan Ibnu Abidin. Dikisahkan bahwa Ibnu Qayyim pada suatu kesempatan pernah berjalan dengan gurunya melewati sekumpulan bangsa Tartar yang sedang minum arak hingga mabuk. Beberapa rekannya tidak menerima melihat kejadian itu karena orang-orang Tartar itu telah melakukan perbuatan buruk, tetapi Ibnu Taimiyah berkata, “Biarkan mereka mabuk-mabukan dan bersukaria. Allah telah mengharamkan khamar karena khamar itu menghalangi manusia untuk mengingat Allah dan mengerjakan shalat, sementara khamar itu justru menghalangi mereka untuk menumpahkan darah dan merampas harta benda orang lain”. Ibnu Taimiyah sengaja berpandangan seperti itu dan mengakui kemungkaran itu karena takut timbul kemungkaran yang lebih besar. Oleh sebab itu, Ibnu Taimiyah memperingatkan murid-muridnya untuk memerhatikan keadaan ketika berdakwah dan menyampaikan fatwa.[13]
Perubahan fatwa karena perubahan adat juga terdapat dalam karya Ibnu Abidin seorang ulama muta’akhirin, ia menulis buku pada abad ketiga belas hijriah dengan judul “Nasyrul ‘Urfi Fî Bimail Ahkâm ‘Al al-Urfi” (menggunakan uruf untuk meletakkan hukum yang berdasar ‘urf atau adat). Dalam buku ini ia menyebutkan, bahwa banyak hukum yang berbeda karena perbedaan zaman dan perubahan tradisi kaumnya atau kerena terjadinya keadaan darurat, tau terjadinya kerusakan pada zaman itu, yaitu dimana kalau hukum yang telah ditetapkan semula itu tidak diubah tentu akan memberatkan atau membahayakan manusia serta akan bertentangan dengan kaidah syari’at yang bertumpu pada keringanan, kemudahan, dan menolak bahaya serta kerusakan.[14] Oleh karena itu, sering dijumpai para masayikh mazhab yang berselisih dengan apa yang telah ditetapkan oleh imam mazhab dalam banyak hal. Dimana ketetapan itu didasarkan atas apa yang terjadi di zamannya. Karena, seandainya Imam Mazhab tersebut itu hidup pada zaman mereka, tentu akan mengubah fatwanya sesuai dengan apa yang mereka gariskan, dan tentunya dengan masih berpegang teguh terhadap kaidah-kaidah mazhabnya.  [15]
Ketiga, adanya perubahan fatwa karena perubahan waktu. Dalam hal ini Al-Qardhawi melandasinya pada kebiasaan Imam Malik yang di antara fatwa-fatwanya selalu berbeda dengan pendahulunya, yakni pendapat sahabat yang disebabkan faktor perkembangan waktu. Misalnya, fatwa Imam Malik tentang seseorang yang mempunyai sebidang tanah, lalu dia hendak mengalirkan air ke tanahnya yang harus melewati tanah milik orang lain di sebelahnya, bahwa tidak seharusnya dia melakukan hal itu. Dalam hal ini Imam Malik tidak menerapkan kebijakan Umar bin Khathab yang memperbolehkannya mengalirkan air melewati tanah tetangganya. Hal ini jelas karena keadaannya sudah berubah pada masa Malik dan banyak penyimpangan yang menyebar di masyarakat sehingga ia pun melarangnya.[16]
Keberanian Imam Malik untuk berbeda fatwa dengan sahabat diakui oleh Ibnu Hazm. Ia berkata di dalam Al-Ahkâm, “Malik berbeda pendapat dengan Abu Bakar dalam lima perkara dan berbeda pendapat dengan Umar dalam tiga perkara”. Hal ini diikuti oleh kalangan ulama Malikiyyah seperti Ibnu Abi Zaid Al-Qairawany, seorang ulama yang terkenal menulis fiqh Maliki, bahwa pernah tembok rumahnya runtuh. Oleh karena ia takut kepada orang jahat, maka kemudian ia memeli­hara seekor anjing penjaga yang diikatnya. Ketika ditanyakan padanya: “Mengapa anda lakukan ini, padahal Imam Malik membencinya?”. Ia menjawab: “Kalau Imam Malik hidup di zaman kita sekarang, niscaya ia akan memelihara macan buas”.[17] Al-Qardhawi beranggapam bahwa perubahan fatwa yang dilakukan oleh para ulama mazhab dengan menghapus fatwa imamnya karena adanya perubahan adat dan kondisi, niscaya akan disetujui oleh imam mereka sekiranya mereka hidup kembali dengan melihat kenyataan dan kondisi yang sudah berbeda dengan zamannya.



[1]Jaih Mubarak, Ijtihad Kemanusiaan di Indonesia, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy. 2005), cet. ke-1, hlm. 31-39.  
[2]Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmah at-Tasyrî’ wa Falsafatuhu, terj. Faisal Saleh, Indahnya Syari’at Islam, Jakarta : Gema Insani Press. 2006). Cet. ke-1, hlm. 87.
[3]Jaih mubarak, Wakaf Produktif, (Bandung : Simbiosa Pratama Media. 2008), cet. ke-1, hlm. 41.
[4]Abu Bakar Ahmad Ibnu Al-Husain Ibnu Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Baihaqi, (Makkah: Maktabah Dar al-Baz. t.th), cet. ke-1, Juz 2, hlm. 289.
[5] Ibid., hlm. 262.
[6]Muslim, Sahîh Muslim, (Beirut, Dar al fikr, t.th.), Juz 2, hlm. 781.
[7]Ahmad Mustafa Al-Farran, Tafsîr Al-Imâm Asy-Syâfi’î, terj. Ali sultan dan Ferdian Hasmand, Tafsir Imam Syafi’i (Menyelami Kedalaman Kandungan al-Qur’an), (Jakarta: PT Niaga Swadaya. 2008), cet-ke1, hlm. 445.
[8]http://madin4sunanampel.wordpress.com/2011/05/27/mahar-dalam-pernikahan/, 17-09-2012.
[9]Khaeruman, Hukum, hlm. 147.
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]Ibid.
[13]Ibid., hlm. 148.
[14]Yusuf al-Qardhawi, Al-Khashâish al-Ammah li Al-Islâm, terj. Rofi Munawar dan Tajuddin, Karakter Islam; Kajian Analitik, (Surabaya: Risalah Gusti. 2000), cet. ke-5, hlm 278.
[15]Ibid., hlm. 279.
[16]Khaeruman, Hukum, hlm. 150.
[17]Yusuf Al-Qardhawi, Al-Madkhâl li Al-Dirâsah al-Syarî’ah al-Islâmiyah, terj. Nabhani Idris, Bagaimana Memahami Syari’at Islam, (Jakarta: Islamuna Press. 1996), cet. ke-1, hlm. 300-301.

Posting Komentar

0 Komentar