Faktor-faktor perubahan fatwa sebanarnya
sudah dijelaskan oleh Ibnu Qayyim dalam kitabnya I’lam al-Muwaqi’in,
yakni fatwa berubah seiring dengan perubahan waktu, tempat, kondisi dan
tradisi. Namun kaidah taghayyur al-fatwâ bihasbi
at-taghayyur al-azminat wa al-amkinat wa al-ahwâl wa al-niyât wa al-awâ’id dalam
pandangan Jaih Mubarak, faktor-faktor perubahan fatwa tersebut dapat diturunkan
menjadi cakupannya lebih kecil. Antara lain sebagai berikut[1]:
Pertama, perubahan pendapat karena penemuan
hadis. Dalam sejarah dicatat bahwa Madinah merupakan pusat hadis karena Nabi Saw.
tinggal di Madinah dan sahabat banyak menerima dan meriwayatkan hadis di tempat
ini. Sedangkan Irak merupakan kota yang jauh dari Madinah sehingga informasi
mengenai hadis Nabi Saw. relatif terbatas; jumlah hadis yang beredar di
kalangan ulama Irak tidak berbanding dengan jumlah hadis yang beredar
dikalangan ulama Madinah. Perbedaan peredaran jumlah hadis di suatu kota turut
serta berpengaruh terhadap pendapat ulama atau pakar fikih.
Salah satu contohnya adalah pendapat Abu
Hanifah (80-150 H) tentang sifat akad wakaf. Menurutnya bahwa benda wakaf boleh
dijual, dihibahkan, dan diwariskan. Argumentasi Abu Hanifah mengenai kebolehan
penjualan benda wakaf ada dua: pertama, argumen rasional yang
berupa qiyas, yakni Abu Hanifah mendifinisikan wakaf adalah harta benda milik
orang yang mewakafkan, yang kemudian menyedekahkan manfaatnya seperti pinjaman.
Dengan demikian Abu Hanifah mengartikan wakaf ini seperti ariyah (pinjaman).[2] Sementara akad
pinjam termasuk gayru lazimat (tidak tetap). Wakaf tersebut
tidak menyebabkan pindahnya kepemilikan benda wakaf. Seperti wakaf untuk
masjid, wakaf yang ditentukan oleh hukum, wakaf wasiat, dan wakaf untuk
kuburan. Sehingga bendanya masih tetap milik pihak yang meminjamkan. Benda
wakaf berubah menjadi waris ketika pihak yang mewakafkan telah meninggal dunia.[3] Kedua,
argumentasi berupa hadis. Hadis yang dijadikan alasan oleh Abu Hanifah adalah:
عَنْ أَبِى عَوْنٍ عَنْ
شُرَيْحٍ قَالَ : جَاءَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَيْعِ
الْحُبْسِ.
“Dari Abi ‘Aun dari Syuraih, ia berkata, Nabi Muhammad Saw. telah menjual
benda wakaf”.[4]
Pada awalnya, Abu Yusuf (penerus dan
pengikut aliran Hanafi) sependapat dengan Abu Hanifah tentang kebolehan menjual
benda wakaf. Ketika melakukan ibadah haji bersama Harun al-Rasyid (w.194 H/809
M), Abu Yusuf melihat benda-benda wakaf yang telah dilakukan oleh para shahabat
Nabi Muhammad Saw. di Madinah. Di Kota Madinah, Abu Yusuf mendapatkan bahwa
benda wakaf tidak diperbolehkan untuk dijual, dihibahkan, atau diwariskan.
Sebagai seorang pakar fikih, ia mencoba menelusuri sebab-sebab benda wakaf
tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak pula diwariskan. Akhirnya, sampai
berita kepada Abu Yusuf tentang riwayat yang menyatakan bahwa benda wakaf tidak
boleh dijual dan dihibahkan. Riwayat tersebut adalah:
عَنْ
نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما قَالَ: أَصَابَ عُمَرُ بِخَيْبَرَ
أَرْضًا فَأَتَى النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ أَصَبْتُ أَرْضًا
لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ أَنْفَسَ مِنْهُ، فَكَيْفَ تَأْمُرُنِى بِهِ
قَالَ: إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا، وَتَصَدَّقْتَ بِهَا. فَتَصَدَّقَ
عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ، فِى الْفُقَرَاءِ
وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ،
وَلاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ، أَوْ
يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ.
“Dari Nafi’ dan Ibn
‘Umar, ia berkata: ‘Umar ra. mempunyai sebidang tanah di Khaibar yang paling ia
sukai, kemudian ia datang kepada Nabi Muhammad Saw. untuk meminta petunjuk
mengenai penggunaan tanah tersebut, kemudian Nabi Saw. berkata:
tahanlah pokoknya dan shadaqahkan hasilnya. Umar ra. Mensedekahkan tanah
tersebut hingga ia tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Harta
tersebut disedekahkan kepada orang-orang fakir, kerabat, hamba, para tamu,
jalan Allah, dan orang yang sedang melakukan perjalanan; dan yang menguruskan
dibolehkan mengkonsumsi hasil dari tanah tersebut tanpa berlebih-lebihan”.[5]
Abu Yusuf kemudian mengubah pendapatnya
sehingga ia tidak sependapat lagi dengan gurunya (Abu Hanifah), dan kemudian ia
berkata: “Kalau saja hadis ini sampai kepada Abu Hanifah rahimah Allah, beliau
pasti akan mencabut pendapatnya”. Kata-kata yang diucapkan oleh Abu Yusuf
tersebut merupakan preseden kuat yang menunjukkan bahwa riwayat atau hadis
tersebut tidak sampai kepada Abu Hanifah, sebab tidak mungkin Abu Yusuf berkata
demikian kalau hadis itu sudah sampai di tangan Abu Hanifah.
Kedua, perubahan hukum karena perbedaan keadaan
kekayaan (harta) pelaku pelanggaran hukum. Dalam sejarah terdapat peristiwa
menarik mengenai penerapan hukum (tathbîq al-ahkâm) yang dilakukan oleh
salah seorang ulama, yaitu al-Laitsi.
Berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari dan
Imam Muslim, sanksi bagi yang berjimak dengan isterinya pada siang hari bulan
Ramadhan adalah memerdekakan hamba, puasa dua bulan berturut-turut, atau
memberi makan 60 orang miskin. Hadis tersebut adalah:
عَنْ
حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُ أَنَّ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ رَجُلاً أَفْطَرَ فِى رَمَضَانَ أَنْ
يُعْتِقَ رَقَبَةً أَوْ يَصُومَ شَهْرَيْنِ أَوْ يُطْعِمَ سِتِّينَ مِسْكِينًا
“Dari Humid Ibn ‘Abd
al-Rahman sesungguhnya Abu Hurairah memberitakan bahwa Nabi Saw. memerintahkan
kepada seseorang yang batal puasa Ramadhan (karena jimak dengan isterinya)
untuk memerdekakan hamba, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan
kepada enam puluh orang miskin”.[6]
Hadis tersebut dipahami secara berbeda
oleh ulama. Menurut Imam Malik, kata aw menunjukkan pilihan (al-takhyir),
sedangkan jumhur ulama (di antaranya Imam al-Syafi’i) berpendapat bahwa kata aw
menunjukan urutan (al-tartib). Pilihan yang dimaksud adalah bahwa
tiga sanksi tersebut dapat dipilih salah satunya; sedangkan urutan adalah bahwa
yang kedua boleh dilakukan apabila yang pertama tidak mampu dilaksanakan, dan
ketentuan ketiga dapat dipilih apabila ketentuan pertama dan kedua tidak mampu
dilakukan. Pada awalnya, tidak ada cara pemahaman lain kecuali dua
cara tersebut.
Salah seorang Gubernur Andalusia berjimak
dengan salah seorang isterinya pada siang hari bulan Ramadhan. Ketika menyesali
perbuatannya, ia ingin bertaubat. Ketika itu, ia mengumpulkan ulama dan meminta
fatwa tentang sanksi yang harus ditempuhnya. Yahya Ibn Yahya al-Laitsi (w. 862
H.) berfatwa bahwa sanksi yang harus ditempuh oleh Gubernur adalah puasa dua
bulan berturut-turut. Kemudian ulama lain bertanya kepada al-Laitsi tentang
pendapatnya: “Mengapa Tuan tidak menggunakan pendapat Imam Malik atau pendapat
jumhur ulama?” Al-Laitsi menjawab: “Kalau peluang itu aku bukakan untuknya,
pasti dia akan dengan mudah melakukan persetubuhan lagi dengan isterinya pada
siang hari bulan Ramadhan dan ia (dengan mudah) dapat memerdekakan hamba;
tetapi aku memberinya sanksi yang paling sulit baginya”.
Penjelasan al-Laitsi di atas mengenai
sanksi yang ia tetapkan pada salah seorang Gubernur Andalusia yang berjimak
dengan salah seorang isterinya pada siang hari bulan Ramadhan, menunjukkan
bahwa ia menetapkan demikian karena pelanggaran dilakukan oleh Gubernur yang
secara ekonomi berkecukupan sehingga tidak sulit untuk memerdekakan hamba atau
memberi makan kepada enam puluh orang miskin. Oleh karena itu, pandangan
tersirat dari al-Laitsi adalah bahwa al-takhyir dan al-tartib masih dapat
diberlakukan terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran Ramadhan yang
secara ekonomi tidak sepadan (sebanding) dengan kekayaan yang dimiliki Gubernur
yang melakukan pelanggaran.
Ketiga, perubahan pendapat karena perubahan
logika (argumentasi logis). Salah seorang ulama besar di bidang fikih adalah
Imam al-Syafi’i (150-204 H.). Dalam sejarah, ia terkenal sebagai ulama yang
memiliki dua pendapat (qaul), yaitu pendapat lama (qaul qadîm)
dan pendapat baru (qaul jadîd). Salah satu pendapatnya adalah kewajiban
pembayaran mahar (mas kawin) dalam perkawinan. Menurut Imam Syafi’i
diwajibkannya mahar itu sebab adanya akad, meskipun mahar tersebut belum
ditentukan dan suami belum mencampuri istrinya.[7] Imam Syafi’i, berpendapat bahwa
mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi
sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar.[8]
Pada dasarnya, yang wajib membayar mahar
dalam akad perkawinan adalah suami. Akan tetapi, terkadang terjadi pula
perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki yang belum memiliki harta dan
belum bekerja sehingga tidak memiliki uang untuk membayar mahar. Ketika anak
laki-laki (yang belum memiliki harta dan juga belum bekerja) dikawinkan oleh
orang tuanya dengan seorang perempuan, siapakah yang wajib membayar mahar.
Dalam qaul qadîm, Imam
Syafi’i berpendapat bahwa yang harus membayar mahar adalah orang tuanya; karena
orang tuanya mengetahui bahwa anaknya tidak mampu membayar mahar ketika
menikah. Sedangkan dalam qaul jadîd, Imam Syafi’i berpendapat bahwa
yang wajib membayar mahar adalah laki-laki yang menikah (bukan bapaknya);
karena yang berhak melakukan persetubuhan adalah dirinya, oleh karena itu,
mahar menjadi tanggungjawabnya. Pendapat Imam al-Syafi’i tentang
pihak yang wajib membayar mahar atas perkawinan anak kecil, baik dalam pendapat
lama maupun dalam pendapat baru, tidak menggunakan hadis sebagai alasan, tetapi
logika. Akan tetapi, logika fikihnya mengalami perubahan.
Keempat, perubahan pendapat karena perbedaan
dalam memahami kitab suci Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an, poligini dibolehkan. Akan
tetapi, karena pengaruh interaksi sosial dengan Perancis, Tunis memberlakukan
undang-undang yang disebut The Tunisian Code of Personal Status yang
mengatur perkawinan dan kewarisan. Pada pasal 18 undang-undang tersebut
ditetapkan bahwa beristeri lebih dari satu orang tidak diperbolehkan; dan pihak
yang melakukan pelanggaran diancam dengan sanksi pidana, yaitu penjara selama satu
tahun dan atau denda sebesar 240.000 frank. Alasan yang dikemukakan oleh ulama
Tunis adalah bahwa syarat melukukan poligini adalah bahwa suami mesti berlaku
adil; sedangkan keadilan yang sempurna tidak akan pernah terwujud. Oleh karena
itu, jiwa Alquran -jelas ulama Tunis- sebenarnya melarang poligini. Pemahaman
Al-Qur’an yang membuat ulama Tunis berbeda pendapat dengan ulama lain dari
negara-negara Islam sehingga gagasannya mendapat reaksi yang cukup banyak.
Kelima, perubahan pendapat (ketentuan) karena
perpindahan madzhab atau aliran fikih. Salah satu contohnya adalah India. Pada
tahun 1937 di India diberlakukan sebuah undang-undang yang disebut The
Muslim Personal IMW (Syarikat) Aplication Act yang isinya mengatur
perkawinan, perceraian, warisan, dan wakaf bagi orang-orang Islam.
Dalam undang-undang itu dinyatakan bahwa
perceraian bagi orang Islam diatur menurut madzhab Hanafi karena sebagian besar
umat Islam India menganut madzhab Hanafi, dan perceraiannya hanya sah kalau
diputuskan oleh pengadilan. Karena aturan tentang hak minta cerai bagi wanita
dalam madzhab Hanafi amat sulit dan bahkan tidak ada, Undang-undang tersebut
secara praktis telah melarang sama sekali terjadinya perceraian yang
diprakarsai oleh pihak wanita. Salah satu akibatnya adalah apabila seorang
wanita ingin dicerai oleh suaminya menggunakan jalan pintas, yaitu ia (isteri)
menyatakan diri keluar dari Islam sehingga perkawinannya menjadi bubar dengan
sendirinya karena fasakh. Jika perkawinan itu bubar, praktis perceraian pun
telah terjadi.
Melihat gejala yang kurang baik tersebut
karena banyaknya wanita Muslimah yang keluar dari Islam hanya karena ingin
cerai dari suami, pada tahun 1939 dengan dipelopori oleh Asyraf Ali Tsanawi,
diberlakukan undang-undang yang disebut The Dissolution of Marriages
Act yang antara lain mengatur bahwa prosedur perceraian tidak lagi
menggunakan madzhab Hanafi yang menyulitkan, tetapi pindah kepada madzhab
Maliki yang dapat memberi kesempatan kepada perempuan untuk meminta cerai
kepada pengadilan. Demikian India yang telah mengubah produk pemikiran hukumnya
dari madzhab Hanafi kepada madzhab Maliki dalam hal hak permintaan cerai oleh
isteri, karena ekses-ekses sosial yang dialaminya. Demikian beberapa
kaidah turunan dari kaidah tentang perubahan.
Dalam pandangan Al-Qardhawi, faktor-faktor
yang melatarbelakangi perubahan fatwa berkisar tiga faktor yang melandasinya,
yakni, perubahan kemaslahatan, perubahan adat dan kondisi, dan perubahan waktu.
Al-Qardhawi meramu tiga faktor ini berdasarkan berbagai pandangan ulama ushul
fiqh, seperti Ibnu Qayyim, Imam Al-Qurafi, dan Ibnu Abidin.[9]
Pertama, perubahan fatwa karena perubahan
kemaslahatan. Hal ini disebabkan bahwa kemaslahatan itu menurut Al-Qardhawi
terdiri atas dua jenis, yakni kemaslahatan yang bersifat absolut atau abadi
yang tidak mengalami perubahan dan kemaslahatan temporal yang bisa berubah
menurut perubahan waktu dan keadaan. Maka konsekuensinya ada perubahan hukum
yang menyertainya karena dalam menetapkan hukum dilandaskan beredar dan
berputarnya sebuah illat.[10]
Sebagai contoh kemaslahatan temporal yang
bisa berubah, Al-Qardhawi berpandangan ketentuan pemberlakuan Ahl-Dzimmah dalam
sebagian kitab fiqh klasik yang mengharuskan mereka mengenakan pakaian yang
berbeda dengan pakaian yang dikenakan orang-orang Muslim karena mengikuti fatwa
Umar bin Khathab atau Umar bin Abdul Azis yang menyatakan, “Karena mereka
bercampur dengan orang-orang Muslim, mereka harus dibedakan dengan kita, agar
mereka tidak diperlakukan seperti perlakuan orang-orang Muslim karena bisa saja
ada di antara mereka yang meninggal di jalan dengan tidak diketahui
identitasnya, lalu dia dishalati dan dikuburkan di area kuburan Muslimin dan
tentu saja ini tidak diridai dan diperkenankan oleh orang-orang Muslim”.[11]
Menurut Al-Qardhawi, sikap membedakan di
atas dipandang perlu dan maslahat pada awal masa-masa penaklukan Islam karena
untuk kehati-hatian. Namun, apabila masih diterapkan pada masa sekarang, yaitu
kemaslahatan membedakan identitas agama seseorang dengan pakaian agak sulit
diterima oleh masyarakat. Kemaslahatan dalam hal ini, dengan adanya identitas
kartu tanda penduduk seseorang di mana dicantumkan nama, wilayah, dan agamanya
ini lebih efektif dan maslahat.[12]
Kedua, perubahan fatwa karena perubahan keadaan
dan adat. Dalam hal ini Al-Qardhawi mengambil pandangan Ibnu Qayyim dan Ibnu
Abidin. Dikisahkan bahwa Ibnu Qayyim pada suatu kesempatan pernah berjalan
dengan gurunya melewati sekumpulan bangsa Tartar yang sedang minum arak hingga
mabuk. Beberapa rekannya tidak menerima melihat kejadian itu karena orang-orang
Tartar itu telah melakukan perbuatan buruk, tetapi Ibnu Taimiyah berkata,
“Biarkan mereka mabuk-mabukan dan bersukaria. Allah telah mengharamkan khamar
karena khamar itu menghalangi manusia untuk mengingat Allah dan mengerjakan
shalat, sementara khamar itu justru menghalangi mereka untuk menumpahkan darah
dan merampas harta benda orang lain”. Ibnu Taimiyah sengaja berpandangan
seperti itu dan mengakui kemungkaran itu karena takut timbul kemungkaran yang
lebih besar. Oleh sebab itu, Ibnu Taimiyah memperingatkan murid-muridnya untuk
memerhatikan keadaan ketika berdakwah dan menyampaikan fatwa.[13]
Perubahan
fatwa karena perubahan adat juga terdapat dalam karya Ibnu Abidin seorang ulama
muta’akhirin, ia menulis buku pada abad ketiga belas hijriah dengan
judul “Nasyrul ‘Urfi Fî Bimail Ahkâm ‘Al al-Urfi” (menggunakan
uruf untuk meletakkan hukum yang berdasar ‘urf atau adat). Dalam buku ini ia
menyebutkan, bahwa banyak hukum yang berbeda karena perbedaan zaman dan
perubahan tradisi kaumnya atau kerena terjadinya keadaan darurat, tau
terjadinya kerusakan pada zaman itu, yaitu dimana kalau hukum yang telah
ditetapkan semula itu tidak diubah tentu akan memberatkan atau membahayakan
manusia serta akan bertentangan dengan kaidah syari’at yang bertumpu pada
keringanan, kemudahan, dan menolak bahaya serta kerusakan.[14] Oleh karena
itu, sering dijumpai para masayikh mazhab yang berselisih dengan apa
yang telah ditetapkan oleh imam mazhab dalam banyak hal. Dimana ketetapan itu
didasarkan atas apa yang terjadi di zamannya. Karena, seandainya Imam Mazhab
tersebut itu hidup pada zaman mereka, tentu akan mengubah fatwanya sesuai
dengan apa yang mereka gariskan, dan tentunya dengan masih berpegang teguh
terhadap kaidah-kaidah mazhabnya. [15]
Ketiga, adanya perubahan fatwa karena perubahan
waktu. Dalam hal ini Al-Qardhawi melandasinya pada kebiasaan Imam Malik yang di
antara fatwa-fatwanya selalu berbeda dengan pendahulunya, yakni pendapat
sahabat yang disebabkan faktor perkembangan waktu. Misalnya, fatwa Imam Malik
tentang seseorang yang mempunyai sebidang tanah, lalu dia hendak mengalirkan
air ke tanahnya yang harus melewati tanah milik orang lain di sebelahnya, bahwa
tidak seharusnya dia melakukan hal itu. Dalam hal ini Imam Malik tidak menerapkan
kebijakan Umar bin Khathab yang memperbolehkannya mengalirkan air melewati
tanah tetangganya. Hal ini jelas karena keadaannya sudah berubah pada masa
Malik dan banyak penyimpangan yang menyebar di masyarakat sehingga ia pun
melarangnya.[16]
Keberanian Imam Malik untuk berbeda fatwa
dengan sahabat diakui oleh Ibnu Hazm. Ia berkata di dalam Al-Ahkâm,
“Malik berbeda pendapat dengan Abu Bakar dalam lima perkara dan berbeda
pendapat dengan Umar dalam tiga perkara”. Hal ini diikuti oleh kalangan ulama
Malikiyyah seperti Ibnu Abi Zaid Al-Qairawany, seorang ulama yang terkenal
menulis fiqh Maliki, bahwa
pernah tembok rumahnya runtuh. Oleh karena ia takut kepada orang jahat, maka
kemudian ia memelihara seekor anjing penjaga yang diikatnya. Ketika ditanyakan
padanya: “Mengapa anda lakukan ini, padahal Imam Malik membencinya?”. Ia
menjawab: “Kalau Imam Malik hidup di zaman kita sekarang, niscaya ia akan
memelihara macan buas”.[17] Al-Qardhawi beranggapam bahwa perubahan fatwa
yang dilakukan oleh para ulama mazhab dengan menghapus fatwa imamnya karena
adanya perubahan adat dan kondisi, niscaya akan disetujui oleh imam mereka
sekiranya mereka hidup kembali dengan melihat kenyataan dan kondisi yang sudah
berbeda dengan zamannya.
[1]Jaih Mubarak, Ijtihad Kemanusiaan di Indonesia, (Bandung :
Pustaka Bani Quraisy. 2005), cet. ke-1, hlm. 31-39.
[2]Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmah at-Tasyrî’ wa Falsafatuhu, terj.
Faisal Saleh, Indahnya Syari’at Islam, Jakarta : Gema Insani Press.
2006). Cet. ke-1, hlm. 87.
[3]Jaih mubarak, Wakaf Produktif, (Bandung : Simbiosa Pratama
Media. 2008), cet. ke-1, hlm. 41.
[4]Abu Bakar Ahmad Ibnu Al-Husain Ibnu Ali Al-Baihaqi, Sunan
Al-Baihaqi, (Makkah: Maktabah Dar al-Baz. t.th), cet. ke-1, Juz 2, hlm.
289.
[5] Ibid., hlm. 262.
[6]Muslim, Sahîh Muslim, (Beirut, Dar al fikr, t.th.), Juz 2, hlm.
781.
[7]Ahmad Mustafa Al-Farran, Tafsîr
Al-Imâm Asy-Syâfi’î, terj. Ali sultan dan Ferdian Hasmand, Tafsir
Imam Syafi’i (Menyelami Kedalaman Kandungan al-Qur’an), (Jakarta: PT Niaga
Swadaya. 2008), cet-ke1, hlm. 445.
[8]http://madin4sunanampel.wordpress.com/2011/05/27/mahar-dalam-pernikahan/, 17-09-2012.
[9]Khaeruman, Hukum, hlm.
147.
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]Ibid.
[13]Ibid., hlm. 148.
[14]Yusuf al-Qardhawi, Al-Khashâish
al-Ammah li Al-Islâm, terj. Rofi Munawar dan Tajuddin, Karakter
Islam; Kajian Analitik, (Surabaya: Risalah Gusti. 2000), cet. ke-5, hlm
278.
[15]Ibid., hlm. 279.
[16]Khaeruman, Hukum, hlm. 150.
[17]Yusuf Al-Qardhawi, Al-Madkhâl li Al-Dirâsah al-Syarî’ah
al-Islâmiyah, terj. Nabhani Idris, Bagaimana Memahami Syari’at
Islam, (Jakarta: Islamuna Press. 1996), cet. ke-1, hlm. 300-301.
0 Komentar